9 Mei 2012
Hmmh..
Malam itu saya tertunduk lesu di
sudut Stasiun Pasar Senen. Sebabnya apalagi kalau bukan soal tiket kereta api.
Perubahan sistem yang kini tidak membolehkan tiket berdiri saya kira akan
menguntungkan kami selaku pengguna jasa kereta ekonomi jarak jauh. Nyatanya
tidak. Sejak diberlakukannya sistem tersebut, saya malah sering tidak kebagian
tiket. Bukan karena kalah cepat mengantri, tetapi karena tiket sudah ludes
diborong para calo. Bayangkan, tiket dibuka h-7 keberangkatan pukul 07.00.
pukul 09.00 sudah ludes. Gilanya lagi, ketika saya penasaran menawar ke calo,
tiket yang harganya Rp.35.000 dijual Rp.120.000 di calo. SINTING..!!
16 Mei 2012
Setelah menimbang beberapa hal,
akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan bus saja seharga Rp.125.000 dengan
tujuan Terminal Jombor di Sleman. Perjalanan dimulai dari Pal Depok pukul 16.00.
17 Mei 2012
Singkat cerita pagi pukul 08.00
kami tiba di Terminal Jombor. Disitu kami memesan tiket bus arah balik dan
belanja logistik yang masih kurang.
Pertigaan Klatar |
Pukul 10.00 kami berangkat menuju
Magelang menggunakan bus jurusan Magelang-Semarang dengan ongkos Rp.8000,-.
Kami turun di pertigaan Blabak sejam kemudian. Selanjutnya kami melanjutkan
perjalanan dengan menggunakan angkot kuning sampai pertigaan Klatar. Dari
Klatar lanjut menggunakan angkot pink dengan tujuan pertigaan Selo. Kami
turun di Barameru basecamp pendakian
merapi. Dari sini masih harus naik lagi untuk sampai di entrance pendakian New Selo.
Basecamp Barameru |
Pukul 12.00 kami tiba New Selo. Tampaknya
New Selo ini juga sebagai tempat favorit kunjungan masyarakat. Tak heran selain
pendaki, New Selo ramai dikunjungi
masyakat dan muda mudi disana. Terdapat warung makan, warung kopi, toilet,
serta pemandangan dan suasana yang menyejukkan hati dan jiwa tentunya.
Ohya, kami juga sempat menanyakan
kepada penduduk setempat asal muasal kata Selo. Katanya, dinamakan Selo karena berada
di sela (celah), celah diantara dua gunung. Ya, memang Selo berada di Saddle
gunung Merapi dan Merbabu.
ki-ka: Eron, Dewa, Mbay, Hasan, dan Arga |
Usai istirahat, makan, dan
packing ulang, kami bersiap untuk memulai pendakian. Pukul 14.00 saat itu.
Cuaca cukup bagus meski sedikit berkabut. Awal pendakian masih berupa
kebun-kebun penduduk. Kondisi ini terus berlanjut setidaknya sampai terlihat
Plang konservasi.
Plang Konservasi |
Jalur di awal pendakian |
Setelah Plang, jalur semakin
menanjak dan menyempit. Kondisi trek juga cukup licin untuk dipijak. Tak lama
kemudian tibalah kami di Pos 1. Area datar yang cukup untuk duduk-duduk
beristirahat. Tempat datar ini memanjang mengikuti jalur. Ya cukuplah kira-kira
untuk satu tenda. Dari Pos 1 ini juga sudah dapat terlihat sosok Merapi dan Merbabu.
Pos 1 |
Trek Menuju Pos 1 |
Perjalanan dilanjutkan menuju Pos
2.
Punggungan trek terlihat jelas hingga ke Puncak. Ini karena trek cukup
terbuka dan semakin terbuka. Jika sebelumnya yang diinjak kaki adalah tanah
yang terselip bebatuan, kini sebaliknya. Pijakan sudah menjadi bebatuan yang
terselip tanah.
Jalur terus menanjak dan semakin
curam saja. Tentu saja ini membuat langkah kami semakin melambat. Beruntung pemandangan
senja masih dapat menghadirkan senyum semangat.
Trek Menuju Pos 2. (latar belakang Merbabu) |
Pos 2. latar belakang Merapi (diambil saat turun) |
Sebelum maghrib kami berempat
tiba di Pos 2. Satu teman kami yaitu Arya Sadewa masih tertinggal di belakang. Kami
menunggu sambil meluruskan kaki. Menunggu sembari mengunyah dan menikmati
pemandangan Selo yang hanya berupa kerlap-kerlip cahaya. Indahnya.,,,
Matahari sudah tak nampak lagi, digantikan
cahaya bulan yang redup menerangi. Saya, Mbay, dan dua teman pendaki lain
memutuskan untuk berangkat lebih dahulu menuju Pasar Bubrah. Alasannya sederhana,
agar ketika yang lain tiba tenda sudah berdiri. Kami pun bergegas. Headlamp
sudah terpasang dan langkah cepat pun dijalankan. Sayang, tiba-tiba kabut tebal
datang menerjang. Cahaya dari headlamp yang saya gunakan tak kuasa menembus
tebalnya kabut. Beruntung kawan pendaki lain, yaitu si Oki dari Jogja,
menggunakan senter besar yang bercahaya kuning. Lumayan bisa lebih menerangi langkah
kaki. Dalam keadaan seperti ini, kami lebih banyak menggunakan intuisi. Asal
jalan tidak menurun ya itulah punggungannya. Setidaknya cara itu berhasil
sampai kami tiba di In Memoriam pelajar pencinta alam SMAN 4 Jogja.
In Memoriam |
Camp Pasar Bubrah |
Kabut semakin tebal, hawa dingin
mulai menusuk. Tak bergerak membuat kami meringkuk kedinginan. Senter besar Oki
masih menyorot kearah jalur yang tadi kami lewati sebagai penanda bagi teman-teman yang masih di belakang. Akhirnya satu persatu teman-teman muncul. Di sisi lain
kabut mulai menghilang dan Merapi mulai menampakkan sosoknya dalam kegelapan. Saya
mulai mencoba mencari tanda-tanda bekas perkemahan dimana Pasar Bubrah berada. Dan,
di area datar dekat bongkahan batu besar kamipun mendirikan tenda.
Tenda sudah berdiri,
barang-barang sudah ditata. Saatnya masak memasak. Menu malam ini rawon campur
ala chinesse food. Sayang, entah karena angin ataupun memang sedang tidak beruntung,
nesting yang kami gunakan tumpah. Padahal sedang tidak dipegang. Ya
terpaksalah saya pungutin daging yang berjatuhan. Sayang kalau dibuang, masih
bisa dicuci dan dimasak lagi. Hehehe..
18 Mei 2012
Pukul 03.00 dini hari kami
bangun. Tanpa berlama-lama di dalam balutan sleeping bag kami membuat sarapan.
Roti topping coklat dan mie rebus. Cukup untuk kalori sampai puncak.
Di luar sudah mulai berdatangan
pendaki-pendaki dari Pos 2 yang akan summit. Kamipun bersiap-siap Summit
Attack. Tak lupa kami melakukan pemanasan dan berdoa sebelum memulai. Mbay memimpin
di depan. Terus bergerak ke kiri menghindari pasir yang menghadang. Memang dari
sumber-sumber yang kami baca, untuk dapat mencapai puncak harus mengambil sisi
kiri (timur) dari arah Pasar Bubrah.
Segaris cahaya fajar mulai muncul,
tetapi puncak masih terlihat jauh di depan. Kali ini saya bertekad harus bisa menikmati
Sun Rise di puncak. Langkah yang
mulai melambat kembali saya percepat. Sampai akhirnya saya tiba di bibir kawah.
Masih ada puncak yang lebih tinggi, tetapi medan menuju kesana cukup sulit
dilalui. Saya memilih beristirahat di bibir kawah sembari menikmati Sun Rise.
Kawah |
Sun Rise |
Mbay sudah lebih dahulu tiba di
Puncak. Disusul Dewa yang langsung tanpa mampir ke bibir kawah. Saya, Arga, dan
Eron yang masih di bibir kawah segera menyusul menuju Puncak tertinggi. Dengan
sangat berhati-hati kami menapak medan berbatu yang cukup ekstrim ini.
Kira-kira 4-5 meter di bawah puncak tertinggi kami berhenti. “Ini berbahaya”,
gumam saya dalam hati. Puncak Merapi yang tinggal selangkah lagi rasanya tidak
mungkin dilalui. Pijakannya terlalu kecil dan licin untuk diinjak. Belum lagi kecuramannya
yang membuat dengkul bergidik nyeri. Saya jadi teringat cerita-cerita pendaki
yang menyebutkan kalau beberapa bulan yang lalu ada yang terjatuh dan
terguling-guling ketika hendak naik dari
tempat tepat saya berdiri. Lama saya berpikir memutuskan ke puncak atau
tidak. Atas tekad sedari awal dan dorongan Mbay dan Dewa akhirnya saya putuskan
untuk naik.
Menuju puncak. (latar belakang bibir kawah) |
Sedikit lagi |
Ya inilah Merapi. Satu lagi gunung yang mengesankan hati. Terkenal karena ke-aktifan-nya, dipuja sebab keberkahannya. Berharap suatu saat aku, engkau, dan kita bersama masih bisa bercengkrama dengannya kawan.
New Peak |
Puncak sang Garuda |
Merapi udah aman ya mas? jadi pengen kesana
ReplyDeleteKalo lewat selo (utara) relatif lebih aman dibanding jalur laen. Tapi coba cek di website pantauan merapi aja kalo mau naek merapi. Ada report nya tiap minggu.
ReplyDelete