Sunday, October 2, 2011

CATATAN PERJALANAN GUNUNG WELIRANG (3159 MDPL) MALANG, JAWA TIMUR (3-10 Juli 2011) 2

Kami sepakat untuk meninggalkan carir di tempat itu karena tanda-tanda jalur penambang sudah terlihat dari situ. Makanan kecil, sebotol air yang telah diramu dengan f*nta abal-abal sachetan, jaket, peta, kompas, GPS, kamera, serta dua bendera (Indonesia & GMC) kami persiapkan untuk dibawa naik keatas. Selanjutnya, kami berjalan agak berjauhan satu sama lain dengan posisi yang tidak lurus untuk menghindari bongkahan-bongkahan batu berjatuhan yang bisa saja memecahkan isi kepala kami. 

Tidak kurang dari dua puluh menit akhirnya puncak dapat kami taklukan. Areal yang tidak terlalu luas berukuran kira-kira 5x3 m dengan kawah yang cukup lebar di sebelah baratnya. Terdapat pula tumpukan-tumpukan batu yang disusun sebagai tempat memancangkan bendera. Plotting sebentar sambil melihat-lihat kesekeliling dengan sesekali melihat dan mencocokkan kondisi sebenarnya dengan kenampakan yang ada dipeta. Selanjutnya sudah bisa ditebak, kami semua mendadak menjadi banci kamera.hahaha
Arjuno, Argopuro, Raung, dan Mahameru berjajar layaknya pilar-pilar yang menguatkan pulau jawa. Mahameru sendiri sesekali terbatuk mengembuskan muatannya. Di barat jauh tampak puncak-puncak tinggi lainnya yang samar terhalang awan. “Mungkin itu Lawu, Merapi, atau Merbabu”, gumam saya dalam hati.
Welirang Peak, 3159 msl
“Guys, foto-fotonya nanti lagi. Kita Indonesia raya dulu” ujar saya sambil menguatkan berdirinya sang merah putih dicelah bebatuan. “Tapi kamera gw bermasalah nih, kadang-kadang ada garis-garisnya gitu. Mana kamera Adi abis lg baterenya” sambung Mbay sambil menunjukan garis-garisnya ke saya. “Kepanasan kali ya, sampe ada garis-garisnya gitu. Yudlh pke aja daripada kagak” Adi menimpali. Akhirnya dengan pengambilan nada yang seadanya, meluncurlah lagu Indonesia Raya dari bibir kami. Suasana khidmat penuh syukur menghiasi suasana saat itu. Kami, empat orang pemuda berdiri di puncak Welirang menyanyikan National Anthem kebanggaan rakyat Indonesia. Memang menyanyikan lagu kebangsaan di puncak gunung selalu menggetarkan jiwa. Dan saya kira bukan hanya di puncak gunung, dimanapun jika dinyanyikan secara khyusuk akan sama hasilnya.   

Terik matahari yang menyengat membuat kami jadi kurang betah berlama-lama di Puncak. Langsung saja kami turun agar tidak membuang waktu. Kembali ke tempat kami meninggalkan carir dan langsung bergegas turun setelah memakainya. Agak sulit juga memastikan jalurnya karena sudah banyak jaringan jalan yang dibuat untuk akses penambang. Banyak simpangan-simpangan jalur disana. Salah satunya adalah rute pendakian Ceger. Ada kejadian yang membuat panik saya, Mbay, dan Adi. Gibran yang kami utus untuk mengecek jalur tak kunjung kembali setelah sepuluh menit berlalu. “Geo, geo, geo” teriak kami saat itu. Namun teriakan kami urung mendapat balasan dari si Gibran. Segera saja pikiran macam-macam timbul dibenak kami. Khawatir si Gibran terpeleset ke jurang atau bahkan yang lebih buruk dari itu. Mbay yang tadi menyuruh Gibran mengecek jalur terlihat merasa bersalah dan tertunduk lesu di sudut jalur. Segera saja saya menyusul kearah Gibran berjalan. Lima menit berjalan saya belum juga mendapati si Gibran. Terikan-terikan saya pun belum mendapat sambutan darinya. Namun akhirnya sayup-sayup terdengar “Geo, geo” dari kejauhan. Dan tak lama ia pun muncul menampakan dirinya. “Syukurlah” gumam saya dalam hati.
“Negatif, jalurnya ada di bawah punggungan ini” ujar Gibran dengan terengah-engah. “Lo kemana aja, dari tadi kita teriakin ngga nyaut-nyaut?” tanya saya dengan sedikit nada marah. “Gw nyaut kok, emangnya gak kedengaran?” jawab Gibran. Banyaknya puncak-puncak kecil di area ini nampaknya meredam teriakan kami. Kami pun akhirnya melanjutkan perjalanan kembali.  
Disepanjang jalan kami banyak menjumpai penambang yang sedang mendorong gerobaknya. Serpihan-serpihan hijau kuning juga banyak tercecer di jalur penambang tersebut. Kami sudah merasa sangat kelelahan. Ankle kaki rasa-rasanya akan kena jika dipaksakan berjalan. Kami akhirnya tiba kembali di padang edelweis saddle Welirang-Kembar1. Di tempat itu kami makan dan meluruskan anggota badan. Kami berempat sepakat untuk tidur sebentar untuk memulihkan tenaga.

Pukul 14.15 alarm ponsel saya berdering membangunkan kami. Hampir satu jam kami tidur disini. Siap-siap merapikan carir dan berangkat lima belas menit kemudian. Sempat bingung karena jalur tertutup, akhirnya kami memilih lewat punggungan yang sebelah kiri. Sangat terjal memang, tapi mau bagaimana lagi. Kami lebih memilih yang lebih menanjak daripada harus membuka jalur kembali. Setengah jam kemudian kami tiba dipenghujung punggungan. Di depannya adalah tebing yang sangat curam. Saya pikir ini yang disebut puncak Kembar1. Setelah plotting sebentar kami melanjutkan mencari punggungan kearah Kembar2. Bergerak kearah kanan kami menjumpai lapangan, kira-kira berukuran setengah lapangan bola. Dengan gaya sok penemu kami menamai lapangan ini dengan alun-alun Kembar1.haha

Jalur terjal menuju Kembar1
Dari alun-alun tersebut terlihat puncak Kembar1 yang sesungguhnya. Sayapun segera menuju kesana untuk plotting dan pengambilan data. Tiga teman saya memilih tinggal untuk istirahat sebentar sambil bernarsis ria di depan kamera. GPS yang saya gunakan mencatat puncak ini diketinggian 3059 mdpl. Sebelah selatannya adalah tebing curam, dan di beberapa titik mengepul asap panas belerang. Saya kembali ke alun-alun tadi, terlihat muka-muka ceria teman-teman saya disana. Rasa lelah yang sebelumnya hinggap sudah berkurang dengan istirahat dan keindahan kenampakan alam disana. Oh ya, kami sudah tidak berpapasan ataupun menjumpai gerombolan pendaki lagi sejak di pos Pondokan pagi tadi. Terakhir yang kami temui hanyalah seorang pendaki di padang edelweis.

Negeri di atas awan, Kembar1
Kembali kami terpaksa tidak melewati punggungan utama/saddle Kembar1-Kembar2 karena tertutup. Karena tidak mau ambil resiko, kami turun dari sisi gunung dan kemudian melipir di dekat saddle. Secara umum tidak terlihat jalur di sepanjang jalan yang kami lewati. Di beberapa titik memang terlihat jalur, tapi putus-putus. Malah terkesan menjerumuskan. Mungkin jalur-jalur tersebut adalah injakan para pendaki yang tersesat alias jalur nyasar. Dengan bekal navigasi yang kami miliki akhirnya kami tiba saddle Kembar1-Kembar2. Sudah jam lima saat itu. Kami tidak melihat ataupun menemukan tanda-tanda jalur ke puncak Kembar2. Medannya pun sangat terjal. Rasa-rasanya kami tidak mungkin mencapai Pasar Dieng malam itu. Kini kecemasan mulai melanda kami. Bingung, takut, dan sangat lelah yang kami rasakan saat itu. Terlebih tiga orang teman saya ini adalah junior saya dalam hal pendakian. Mereka baru pertama kali terlibat dalam situasi seperti ini. Belum lagi suara angin yang bergemuruh kencang juga turut mengirimkan sinyal kecemasan kepada kami. Saya yang sudah lebih berpengalaman mencoba untuk tetap rileks agar tidak memperkeruh keadaan.
Persediaan air kami masih 3L. Saya kira itu cukup untuk bertahan sampai besok. Sumber air memang sudah tidak kami temukan sejak pagi tadi. Terakhir hanya di pos Pondokan. Akhirnya kami memutuskan camp di tempat ini meski dengan resiko angin yang sangat kencang. Di tempat datar di bawah sebuah pohon yang sudah kami cek ketegarannya. Dan panorama Sun Set yang menemani kami membangun tenda.
Menuju Kembar2

Kamis, 7 Juli 2011
Pukul 05.00 kami bangun. Belum berani saya keluar tenda karena diluar masih sangat dingin. Masih ada segelas kopi untuk pagi ini. Pukul 05.30 kami keluar tenda. Pemandangan disini sangat indah. Hamparan padang rumput yang diapit dua gunung Kembar menciptakan suasana yang tak biasa. Ditambah lagi dengan keindahan puncak-puncak gunung kecil yang berselimut awan. Saya dan Gibran bersiap untuk naik ke puncak Kembar2. Tujuannya adalah pengambilan data dan pengecekan kemungkinan jalur ke Lembah Babi.
Baru lima menit jalan air yang kami bawa tumpah, menyisakan sedikit air saja. Awal yang tidak mengenakan saya pikir. Tapi kami tetap memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Jalurnya sangat menanjak curam, kemiringan lereng sekitar 37° atau 82%. Kami baru menemukan tanda-tanda jalur setelah mendekati puncak.

The Jak Mania di Puncak Kembar2
Sekitar jam setengah delapan kami berdua sampai di puncak. Kami sangat berhati-hati dalam menginjakkan kaki disana. Banyak asap mengepul di areal puncak. 
                                
Hasan Nur Aminudin
G 0909 UI