Wednesday, August 8, 2012

MERAPI TERHARU

9 Mei 2012
Hmmh..
Malam itu saya tertunduk lesu di sudut Stasiun Pasar Senen. Sebabnya apalagi kalau bukan soal tiket kereta api. Perubahan sistem yang kini tidak membolehkan tiket berdiri saya kira akan menguntungkan kami selaku pengguna jasa kereta ekonomi jarak jauh. Nyatanya tidak. Sejak diberlakukannya sistem tersebut, saya malah sering tidak kebagian tiket. Bukan karena kalah cepat mengantri, tetapi karena tiket sudah ludes diborong para calo. Bayangkan, tiket dibuka h-7 keberangkatan pukul 07.00. pukul 09.00 sudah ludes. Gilanya lagi, ketika saya penasaran menawar ke calo, tiket yang harganya Rp.35.000 dijual Rp.120.000 di calo. SINTING..!!

16 Mei 2012
Setelah menimbang beberapa hal, akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan bus saja seharga Rp.125.000 dengan tujuan Terminal Jombor di Sleman. Perjalanan dimulai dari Pal Depok pukul 16.00. 
 
17 Mei 2012
Singkat cerita pagi pukul 08.00 kami tiba di Terminal Jombor. Disitu kami memesan tiket bus arah balik dan belanja logistik yang masih kurang.

Pertigaan Klatar
Pukul 10.00 kami berangkat menuju Magelang menggunakan bus jurusan Magelang-Semarang dengan ongkos Rp.8000,-. Kami turun di pertigaan Blabak sejam kemudian. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkot kuning sampai pertigaan Klatar. Dari Klatar lanjut menggunakan angkot pink dengan tujuan pertigaan Selo. Kami turun  di Barameru basecamp pendakian merapi. Dari sini masih harus naik lagi untuk sampai di entrance pendakian  New Selo.
Basecamp Barameru
Pukul 12.00 kami tiba New Selo. Tampaknya New Selo ini juga sebagai tempat favorit kunjungan masyarakat. Tak heran selain pendaki,  New Selo ramai dikunjungi masyakat dan muda mudi disana. Terdapat warung makan, warung kopi, toilet, serta pemandangan dan suasana yang menyejukkan hati dan jiwa tentunya.    
Ohya, kami juga sempat menanyakan kepada penduduk setempat asal muasal kata Selo. Katanya, dinamakan Selo karena berada di sela (celah), celah diantara dua gunung. Ya, memang Selo berada di Saddle gunung Merapi dan Merbabu. 

ki-ka: Eron, Dewa, Mbay, Hasan, dan Arga
Usai istirahat, makan, dan packing ulang, kami bersiap untuk memulai pendakian. Pukul 14.00 saat itu. Cuaca cukup bagus meski sedikit berkabut. Awal pendakian masih berupa kebun-kebun penduduk. Kondisi ini terus berlanjut setidaknya sampai terlihat Plang konservasi. 
Plang Konservasi
Jalur di awal pendakian
Setelah Plang, jalur semakin menanjak dan menyempit. Kondisi trek juga cukup licin untuk dipijak. Tak lama kemudian tibalah kami di Pos 1. Area datar yang cukup untuk duduk-duduk beristirahat. Tempat datar ini memanjang mengikuti jalur. Ya cukuplah kira-kira untuk satu tenda. Dari Pos 1 ini juga sudah dapat terlihat sosok Merapi dan Merbabu.
Pos 1

Trek Menuju Pos 1
  
Perjalanan dilanjutkan menuju Pos 2. 
Punggungan trek terlihat jelas hingga ke Puncak. Ini karena trek cukup terbuka dan semakin terbuka. Jika sebelumnya yang diinjak kaki adalah tanah yang terselip bebatuan, kini sebaliknya. Pijakan sudah menjadi bebatuan yang terselip tanah. 

Jalur terus menanjak dan semakin curam saja. Tentu saja ini membuat langkah kami semakin melambat. Beruntung pemandangan senja masih dapat menghadirkan senyum semangat. 
Trek Menuju Pos 2. (latar belakang Merbabu)
Pos 2. latar belakang Merapi (diambil saat turun)
Sebelum maghrib kami berempat tiba di Pos 2. Satu teman kami yaitu Arya Sadewa masih tertinggal di belakang. Kami menunggu sambil meluruskan kaki. Menunggu sembari mengunyah dan menikmati pemandangan Selo yang hanya berupa kerlap-kerlip cahaya. Indahnya.,,,

Matahari sudah tak nampak lagi, digantikan cahaya bulan yang redup menerangi. Saya, Mbay, dan dua teman pendaki lain memutuskan untuk berangkat lebih dahulu menuju Pasar Bubrah. Alasannya sederhana, agar ketika yang lain tiba tenda sudah berdiri. Kami pun bergegas. Headlamp sudah terpasang dan langkah cepat pun dijalankan. Sayang, tiba-tiba kabut tebal datang menerjang. Cahaya dari headlamp yang saya gunakan tak kuasa menembus tebalnya kabut. Beruntung kawan pendaki lain, yaitu si Oki dari Jogja, menggunakan senter besar yang bercahaya kuning. Lumayan bisa lebih menerangi langkah kaki. Dalam keadaan seperti ini, kami lebih banyak menggunakan intuisi. Asal jalan tidak menurun ya itulah punggungannya. Setidaknya cara itu berhasil sampai kami tiba di In Memoriam pelajar pencinta alam SMAN 4 Jogja. 

In Memoriam
Dari sini kami tidak langsung melanjutkan perjalanan. Perasaan ragu dan khawatir muncul di benak kami berempat saat itu. Sudah tidak ada jalan menanjak, tidak ada lagi yang dapat menjadi patokan. Gps yang saya bawa memang menunjukan bahwa Pasar Bubrah sudah dekat, tapi itu tak cukup meyakinkan kami untuk melanjutkan langkah. Kami lebih memilih menunggu hingga semuanya berkumpul kembali. 

Camp Pasar Bubrah
Kabut semakin tebal, hawa dingin mulai menusuk. Tak bergerak membuat kami meringkuk kedinginan. Senter besar Oki masih menyorot kearah jalur yang tadi kami lewati sebagai penanda bagi teman-teman yang masih di belakang. Akhirnya satu persatu teman-teman muncul. Di sisi lain kabut mulai menghilang dan Merapi mulai menampakkan sosoknya dalam kegelapan. Saya mulai mencoba mencari tanda-tanda bekas perkemahan dimana Pasar Bubrah berada. Dan, di area datar dekat bongkahan batu besar kamipun mendirikan tenda.
 
Tenda sudah berdiri, barang-barang sudah ditata. Saatnya masak memasak. Menu malam ini rawon campur ala chinesse food. Sayang, entah karena angin ataupun memang sedang tidak beruntung, nesting yang kami gunakan tumpah. Padahal sedang tidak dipegang. Ya terpaksalah saya pungutin daging yang berjatuhan. Sayang kalau dibuang, masih bisa dicuci dan dimasak lagi. Hehehe..

18 Mei 2012
Pukul 03.00 dini hari kami bangun. Tanpa berlama-lama di dalam balutan sleeping bag kami membuat sarapan. Roti topping coklat dan mie rebus. Cukup untuk kalori sampai puncak.     

Di luar sudah mulai berdatangan pendaki-pendaki dari Pos 2 yang akan summit. Kamipun bersiap-siap Summit Attack. Tak lupa kami melakukan pemanasan dan berdoa sebelum memulai. Mbay memimpin di depan. Terus bergerak ke kiri menghindari pasir yang menghadang. Memang dari sumber-sumber yang kami baca, untuk dapat mencapai puncak harus mengambil sisi kiri (timur) dari arah Pasar Bubrah.   

Segaris cahaya fajar mulai muncul, tetapi puncak masih terlihat jauh di depan. Kali ini saya bertekad harus bisa menikmati Sun Rise di puncak. Langkah yang mulai melambat kembali saya percepat. Sampai akhirnya saya tiba di bibir kawah. Masih ada puncak yang lebih tinggi, tetapi medan menuju kesana cukup sulit dilalui. Saya memilih beristirahat di bibir kawah sembari menikmati Sun Rise. 
Kawah

Sun Rise


Mbay sudah lebih dahulu tiba di Puncak. Disusul Dewa yang langsung tanpa mampir ke bibir kawah. Saya, Arga, dan Eron yang masih di bibir kawah segera menyusul menuju Puncak tertinggi. Dengan sangat berhati-hati kami menapak medan berbatu yang cukup ekstrim ini. Kira-kira 4-5 meter di bawah puncak tertinggi kami berhenti. “Ini berbahaya”, gumam saya dalam hati. Puncak Merapi yang tinggal selangkah lagi rasanya tidak mungkin dilalui. Pijakannya terlalu kecil dan licin untuk diinjak. Belum lagi kecuramannya yang membuat dengkul bergidik nyeri. Saya jadi teringat cerita-cerita pendaki yang menyebutkan kalau beberapa bulan yang lalu ada yang terjatuh dan terguling-guling ketika hendak naik dari tempat tepat saya berdiri. Lama saya berpikir memutuskan ke puncak atau tidak. Atas tekad sedari awal dan dorongan Mbay dan Dewa akhirnya saya putuskan untuk naik. 
Menuju puncak. (latar belakang bibir kawah)
Sedikit lagi
Kaki mulai di pijakkan. Saya mencoba tidak melihat ke bawah. Yang saya tekankan bahwa saya harus menginjakan puncak merapi pagi itu juga. Dan akhirnya dengan izin-Nya saya pun tiba di Puncak Merapi. Terdapat plang kecil penanda yang meyebutkan bahwa di situ adalah Puncak baru Merapi. Angin begitu kencang bertiup bercampur gas yang keluar dari kawah. Saya hanya bisa termenung dalam hati menyaksikan suasana seperti ini.

Ya inilah Merapi. Satu lagi gunung yang mengesankan hati. Terkenal karena ke-aktifan-nya, dipuja sebab keberkahannya. Berharap suatu saat aku, engkau, dan kita bersama masih bisa bercengkrama dengannya kawan.  

New Peak
Puncak sang Garuda