Sunday, April 8, 2012

EVALUASI LINGKUNGAN BANTARAN SUNGAI DI KELURAHAN PEJAGALAN, JAKARTA UTARA

Secara umum bantaran sungai diartikan sebagai ruang/wilayah disepanjang tepi sungai. Menurut  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang sungai, bantaran merupakan ruang antara tepi palung sungai dan tepi dalam kaki tanggul. Pada beberapa literatur bantaran juga disebut dengan sempadan sungai yang didefinisikan sebagai wilayah yang meliputi ruang di kiri dan kanan palung sungai di antara garis sempadan dan tepi palung sungai untuk sungai tidak bertanggul, atau diantara garis sempadan dan tepi luar kaki tanggul untuk sungai bertanggul.
Foto: Kali Angke (Dokumentasi Pribadi)
Sempadan sungai sendiri berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan. Merujuk pada pentingnya fungsi ruang tersebut, dibuat peraturan yang mengatur seberapa jauh wilayah bantaran dan penggunaannya agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu. Peraturan yang mengatur hal tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang sungai yang menyebutkan bahwa sempadan paling sedikit berjarak 15 m (lima belas meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, untuk kedalaman sungai lebih dari 3 m (tiga meter) sampai dengan 20 m (dua puluh meter) di wilayah perkotaan. Lahan pada  sempadan sungai diperuntukkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan tidak boleh digunakan sebagai lahan untuk bangunan kecuali untuk fasilitas kepentingan tertentu yang diatur oleh undang-undang. 

Kelurahan Pejagalan adalah salah kelurahan di Jakarta Utara yang dilewati oleh Kali Angke dan Banjir Kanal Barat (BKB). Kali Angke sendiri merupakan salah satu sungai yang cukup besar dan penting keberadaannya di Jakarta, sedangkan BKB merupakan saluran besar yang mengalihkan aliran Ci Liwung menuju barat Jakarta. Dua sungai penting tersebut sudah seharusnya dikelola dengan sebagaimana mestinya. Salah satunya dengan menjaga wilayah sempadan terbebas dari bangunan agar ekosistem sungai tetap terjaga. Namun pada kenyataannya, lahan sempadan sungai sudah terdesak oleh bangunan-bangunan akibat derasnya permintaan akan lahan di Ibukota Jakarta.
Peta Buffer Sungai Kelurahan Pejagalan, Jakarta Utara
Pada peta di atas terlihat bahwa pada sempadan sungai (buffer 15m) terdapat sederet bangunan yang dikategorikan sebagai permukiman disepanjang sempadan kali Angke dan bagian barat daya dari BKB. Pada buffer sungai 25m, keberadaan bangunan semakin banyak dengan kerapatan bangunan yang semakin padat pula. Tercatat sekitar 101.882,9 m² lahan sempadan yang beralih fungsi menjadi lahan terbangun untuk kali Angke dan 52.173,89 m² untuk BKB sehingga total lahan sempadan yang beralih fungsi di Kelurahan Pejagalan sekitar 1,54 km² (pengolahan data arc gis).  
Salah satu bagian sempadan kali Angke dan BKB yang terdesak oleh bangunan
Perubahan penggunaan lahan sempadan tersebut tentu menyebabkan kerusakan pada ekosistem sungai yang berakibat pada meningkatnya besaran runoff yang mempercepat datangnya peak flow sehingga banjir akan lebih cepat datang dengan durasi hujan yang semakin cepat.

Mengapa bisa terjadi demikian? apa saja kerusakan yang ditimbulkan? bagaimana mengatasinya? apa kebijakan yang tepat guna menyelesaikannya?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang banyak muncul dalam berbagai permasalahan lahan. Jelas bahwa desakan permintaan lahan di wilayah perkotaan menjadi penyebab dari alih fungsi sempadan. Manusia dan limpasan air hujan harus bersaing untuk mendapatkan tempat di DKI Jakarta yang luas wilayahnya tidak akan berubah karena kawasan untuk memperluas kota sudah tidak ada lagi. Arus urbanisasi ke Jakarta telah menciptakan lokasi-lokasi permukiman kumuh yang hampir semuanya ilegal. Permukiman semacam ini banyak dibangun di bantaran sungai sehingga merusak ekosistem sungai. Selain itu, lemahnya fungsi kontrol pemerintah yang dalam hal ini menjadi security juga menjadikan ekspansi lahan sempadan semakin tak terbendung. 

Pemerintah sendiri kemudian hanya bisa mengusahakan pembuatan tanggul sungai buatan untuk menahan banjir yang akan tiba dimusim penghujan. Namun dengan adanya tanggul tersebut malah menciptakan masalah baru yaitu masalah genangan.
Masalah genangan di bagian luar tanggul

Belum ada langkah yang solutif yang dapat menangani  permasalahan tersebut. Perlu manajemen yang holistik dan integratif mengingat kasus semacam ini juga terjadi dihampir seluruh sempadan di wilayah perkotaan. Untuk kedepan diharapkan dapat ditemukan penyelesaian yang bersifat win-win solution agar manajemen sungai dapat dilaksanakan secara terpadu, terprogram, dan berkelanjutan. 


Daftar Pustaka:
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai 
  • Taqyudin. 2011. Bahan Ajar Mata Kuliah Evaluasi Sumber Daya Lahan. Departemen Geografi FMIPA UI: Depok 
  • Team Mirah Saketi, 2010. Mengapa Jakarta Banjir. Pengendalian Banjir PemProv DKI Jakarta
  • Upaya Pengendalian Banjir Dengan Peningkatan Peran Serta Masyarakat, Bidang Perencanaan Teknis Dan Tata Bangunan Dinas KIMPRASWIL Kota Malang, 2006

Thursday, April 5, 2012

SUKSES DAN GAGAL GENTRIFIKASI. “STUDI KASUS RUMAH SUSUN ANGKE, TAMBORA”

Tulisan ringan mengenai Urban Geography

The Fragmentation of Urban Areas (Harris and Ullman,1990)
Keberadaan permukiman kumuh dan rendahnya aksesibilitas kaum miskin untuk mendapat hunian yang layak memang merupakan masalah besar yang terdapat di Kota Jakarta. Daya tarik kota sebagai pusat kegiatan ekonomi, perdagangan dan jasa, menyebabkan hadirnya tingkat migrasi desa-kota yang tidak mampu diakomodasi dengan jumlah perumahan layak huni bagi warganya. Kaum miskin menjadi kelompok yang tersingkirkan akibat permasalahan ini.

Gentrifikasi hadir dalam upaya merevitalisasi permukiman kumuh yang ada di perkotaan. Ia merupakan suatu proses reinvestasi suatu lokasi di pusat kota yang dianggap kurang produktif. Namun proses ini juga bukannya tanpa masalah. Bahkan bisa dibilang cenderung menimbulkan masalah baru. Gentrifikasi biasanya diikuti dengan in-migrasi penduduk yang relatif mampu ke wilayah tersebut sehingga lagi-lagi kaum miskin menjadi kelompok yang tersingkirkan dalam hal ini. Masyarakat miskin yang ada termarginalkan sehingga harus berpindah dari kawasan yang digentrifikasi. 

Peningkatan nilai lahan setelah gentrifikasi menjadikan kawasan yang semula kumuh ini mulai “dilirik” oleh pihak luar. Di sisi lain, perubahan ini diikuti oleh ketidaksesuaian tuntutan kebutuhan penduduk setempat. Konsekuensinya, masyarakat asli yang notabene miskin, “terpaksa” berpindah untuk menyesuaikan kebutuhannya.

Salah satu contoh dari kasus gentrifikasi ini adalah kasus Rumah Susun Tambora. Rumah susun dibangun untuk menyelesaikan masalah kepadatan di daerah Tambora. Terdapat 9 unit rumah susun yang dibangun dalam tiga tahap sejak tahun 1983 hingga 1996. Sukses dan gagal mungkin merupakan kalimat yang tepat untuk menilai gentrifikasi yang terjadi disini.

Foto: Rumah Susun Lama (4 tingkat). Sumber: Media Indonesia 21 oktober 2011 18:59 WIB
Rumah Susun yang dibangun pada tahap I dan II (rumah susun lama), dianggap sukses sesuai dengan tujuan awal yakni merevitalisasi kawasan permukiman kumuh dan menempatkan kembali penduduknya setelah revitalisasi. Sedangkan Rumah Susun yang dibangun pada tahap III (rumah susun baru), dianggap gagal karena seiring berjalannya waktu rumah susun tersebut malah ditempati kalangan menengah keatas yang memiliki mobil (lihat foto).  


Foto: Rumah Susun Baru (6 tingkat). Sumber: Kompas Rabu, 19 Oktober 2011 | 14:52 WIB
Kenapa bisa terjadi demikian?. Perlu melihat kebelakang untuk dapat menjawab permasalahan tersebut. Dahulunya, kawasan kelurahan angke merupakan daerah rawa yang tidak layak untuk ditinggali. Seiring berjalannya waktu, dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan di perkotaan, tanah rawa itupun ditimbun/diurug untuk dapat digunakan. Dengan kualitas tanah yang buruk dan tanpa sertifikasi, kawasan tersebut dengan cepat menjadi perkampungan padat dan kumuh. 

Adalah rezim Orde Baru yang kemudian merencanakan melakukan gentrifikasi kawasan permukiman padat tersebut. Tanah kosong seluas 6.800 m² dibangun untuk memindahkan penduduk yang tinggal di lokasi permukiman yang nantinya akan dibangun Rumah Susun II. Selanjutnya, penduduk yang tinggal di atas tanah yang akan dibangun di Rumah Susun III (rumah susun baru), direlokasi ke Rumah Susun II yang telah selesai dibangun. Begitu seterusnya hingga selesai Rumah Susun III. Permasalahan muncul ketika rezim Orde Baru runtuh tahun 1998. Pembangunan Rumah Susun IV yang sejatinya telah direncanakan terpaksa tidak dilanjutkan. Akibatnya, penduduk yang tinggal diatas tanah yang akan dijadikan Rumah Susun IV sudah memiliki hak huni Rumah Susun III, tetapi rumahnya justru tidak jadi digusur. Ketidakjelasan ini yang menciptakan kondisi dimana penduduk yang sudah memiliki hak huni Rumah Susun III lebih memilih menyewakan ataupun menjual hak huni rumah susunnya. Pada akhirnya, justru orang-orang ber-mobil-lah yang menempati Rumah Susun III tersebut.                
Lokasi relatif Rumah Susun Tambora. (Sumber: Citra Geo Eye-Google Earth 2007)
Ya, fenomena Urban memang merupakan kondisi yang sangat penuh dengan turbulensi. Turbulensi tersebut menciptakan distorsi yang melibatkan berbagai dimensi dalam kehidupan. Sulit ditebak apa yang belum dan akan terjadi. Perlu kajian yang komprehensif dan mendalam agar permasalahan urban dapat tertata dengan baik.