Sunday, November 6, 2011

PERJALANAN HATI, MAHAMERU 3676 MDPL PART1

Saya termenung di atas matras berbentuk puzzle di sebuah ruangan di lantai IV gedung Geografi UI. Pikiran saya melanglang memikirkan acara apa yang tepat untuk mengisi kekosongan diakhir kepengurusan masa bakti 2010-2011. Melakukan pendakian rasa-rasanya kurang sesuai karena memang tenaga dan pikiran sudah hampir habis terkuras pada acara penerimaan anggota baru (PAB) yang baru selesai akhir bulan lalu. Namun ditengah lamunan tersebut, salah seorang sahabat saya, Arya Sadewa, tiba-tiba datang dan banyak berbicara tentang rencana pendakian. Dari situ tercetus ide pendakian Semeru yang akan dilakukan dalam waktu dekat. 

Sebetulnya ide pendakian Semeru sendiri bukanlah hal baru dikalangan kami anggota GMC UI saat itu. Bahkan Semeru sempat dijadikan salah satu Gunung tujuan alur akhir PAB. Hanya saja karena pertimbangan banyak hal, pendakian Semeru urung dilaksanakan. 

Setelah dilakukan pertimbangan yang cukup panjang, akhirnya diputuskanlah akan digelarnya pendakian Semeru tgl 14 oktober 2011. Ada sekitar satu bulan waktu bagi kami untuk melakukan persiapan dengan matang. Kebetulan saya yang ditunjuk sebagai ketua pelaksana kegiatan tersebut. Dengan publikasi seadanya didapatlah sekitar dua puluh orang yang berminat ikut. Namun, mendekati seminggu sebelum hari H, dengan berbagai kendala dan alasan tersisalah sepuluh orang yang menyatakan bersedia mengikuti perjalanan tersebut. 

H-3 keberangkatan kami mendengar kabar buruk dari berita bahwa terjadi kebakaran di jalur pendakian Semeru. Mendengar itu kami menanyakan langsung ke TNBTS (via telp) untuk memastikan kejadian tersebut. Pihak TNBTS sendiri membenarkan bahwa telah dan sedang terjadi kebakaran di beberapa titik disana. Namun, hingga saat itu pendakian Semeru masih tetap diperbolehkan.   

Jum’at, 14 Oktober 2011

Pagi dihari keberangkatan kembali kami mendapat kabar buruk. Ibunda dari Cipta masuk rumah sakit sehingga Cipta pun menarik diri dari perjalanan ini. Hal yang kurang mengenakkan saya kira. Tinggalah sembilan orang yang tersisa yaitu saya (hasan),  Mbay, Dewa, Sandi, Erbe, Rindang, Aziz, Eron, dan Ben.

Menunggu Bus di Depan Gundar
Pukul 09.00 kami berkumpul di sekret untuk melakukan persiapan akhir sebelum keberangkatan. Packing dan me-list-segala perlengkapan ialah hal yang kami lakukan. Pukul 10.30 kami berangkat ke Pondokcina dan baru naik bis sekitar pukul 11.30. Bis yang kami tumpangi adalah bis patas AC jurusan Depok-Ps.Senen dengan tarif Rp.8.000,-. Satu jam kemudian tibalah kami di St.Senen dan langsung menaiki kereta yang memang sedang parkir disana.

MATARMAJA (Malang-Blitar-Madiun-Jakarta)
Pukul 14.00 MATARMAJA mulai meningalkan tempat parkirnya. Bermain kartu dan bersenda gurau adalah hal yang kami lakukan untuk sekadar menghilangkan kebosanan. Entah pukul berapa (saya lupa) saya dikagetkan oleh pemandangan yang cukup membuat mata kembali segar. Panorama pantai utara jawa dimalam hari yang disinari sinar bulan purnama menjadi pemandangan yang tak biasa. Bagaimana tidak, air laut hanya berjarak sekitar dua puluh meter dari kereta. Teluk-teluk kecil bersambut diselingi dengan beberapa tanjung bergantian layaknya sepasang kekasih saja. Itu  artinya kereta sudah mendekati Semarang. Reflek saya mengarahkan hidung kearah jendela dan menghirup udara keindahan ini dalam-dalam. “Wow keren”, gumam saya dalam hati. 

Oh ya, ada satu keunikan dari kereta ini. Dibeberapa stasiun, MATARMAJA disambut dengan panggilan ekspres MATARMAJA. Entah apa yang mendasari pemanggilan tersebut, karena yang saya tahu kereta ekspres adalah kereta eksekutif yang berjalan paling cepat diantara kelas kereta lainnya. Mungkin karena kereta ini on time atau mungkin hanya panggilan manja saja.hahaha

Sabtu, 15 Oktober 2011
St. Kota Baru Malang
Pukul 07.00 kami tiba di St.Kotabaru Malang. Sarapan pagi adalah hal yang pertama kali dilakukan. Kami sarapan di warung dekat stasiun sambil memulihkan tenaga. Usai makan sudah ada angkot yang menawari jasanya mengantarkan ke Tumpang. Dengan tarif Rp.9000,-/orang kami pun melenggang menuju Tumpang.

Tumpang di Rumah Pak Laman
Sekitar pukul 09.00 kami tiba di Tumpang. Kami memilih untuk diantarkan langsung ke salah satu rumah si empunya jeep yakni Pak Laman yang tak jauh dari pasar Tumpang. Tawar menawar berlangsung cukup alot di rumah yang berada persis di pinggir jalan tersebut. Walhasil harga tetap diangka Rp.450.000,- sehingga masing-masing dari kami harus rela mengeluarkan Rp.50.000,-. Sebetulnya ada serombongan pendaki lain berjumlah empat belas orang yang juga akan menggunakan jasa jeep Pak Laman. Hanya saja mereka tidak mau join dengan kami dengan alasan terlalu penuh jika satu jeep diisi 23 orang. Padahal Pak laman sendiri menyanggupi menaikan 23 orang beserta barang-barangnya dalam satu jeep. Tetapi ya sudahlah, kami tidak punya banyak pilihan karena jumlah kami memang cukup nanggung. Idealnya jeep diisi lima belas orang plus barang, namun bisa dipaksakan hingga 25 orang dengan berdesakan.

Jeep di Halaman Rumah Pak Laman
Sebelum berangkat ke Ranu Pani menggunakan jeep, terlebih dahulu kami mengurus segala sesuatu yang belum terselesaikan. Eron dan Erbe mengurus surat kesehatan dan logistik menggunakan motor Pak Laman. Mbay, Dewa, dan Ben mengurus perizinan pendakian diantar oleh Pak Laman. Sisanya, termasuk saya beristirahat meluruskan badan.hehehe

Biaya perizinan per-orangnya dikenakan Rp.7000,- untuk administrasi dan asuransi. Oh ya, di sebelah rumah Pak Laman juga terdapat warung bakso yang murah meriah. Dengan uang Rp.4000,- sudah dapat bakso malang+lontong yang cukup mengenyangkan. Recomended untuk kalian semua.haha

Bromo dari arah selatan
Tepat ketika azan zhuhur berkumandang kami berangkat meninggalkan Tumpang. Jalan menanjak melewati perkampungan, ladang, dan villa-villa disepanjang jalan. Kemudian medan berganti dengan punggungan tipis bergelombang sesekali meliak-liuk melipir tebing curam. Jalur cukup kering berdebu sehingga memaksa kami menggunakan masker dan kacamata. Selanjutnya jeep berjalan medekati bibir tebing yang cukup curam dan terhamparlah salah satu keindahan ciptaan tuhan yang maha kuasa. Ya itulah Bromo. Ia memaksa kami untuk singgah berfoto-foto sambil menikmati hamparan pasirnya. Fantastis

Ranu Pani
Ranu Pani yang Sedikit Mengering
Usai berfoto kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini sebuah danau yang airnya sedang tidak banyak yang menyambut kami. Inilah Ranu Pani sebagai Entrance pendakian semeru. Di sebelah danau terdapat pos registrasi, mushola, pos pendaki, dan beberapa warung. Setelah menyelesaikan pembayaran jeep, saya langsung melakukan registrasi pendakian. Di salah satu papan pengumuman di tempat registrasi tersebut terdapat daftar nama-nama korban dan sebab-sebabnya. Dari mulai alm. Soe Hok Gie sampai yang terakhir ditahun 2010. Seketika adrenalin saya meningkat pesat. Terlebih sang petugas  mensyaratkan pendakian hanya sampai Kalimati dengan nada bicara yang penuh dengan penekanan. Refleks saya memandangi satu persatu teman-teman saya dengan penuh kecemasan. Saya pun menandatangani berkas dengan perasaan was-was dan kekhawatiran.  

Pondok Pendaki
Sesuai dengan manajemen perjalanan yang telah dibuat, kami tidak langsung memulai pendakian meski saat itu masih pukul 15.00. Tujuannya ialah mengistirahatkan diri sekaligus aklimatisasi suhu dan kondisi tubuh. Kami memilih beristirahat di pos pendaki yang tidak dikenakan biaya. Letaknya agak naik diseberang pos registrasi. Dari pos ini terlihat mahameru berdiri dengan gagahnya. Juga terlihat titik api di salah satu titik gunung kelopo ketika malam tiba. Suhu malam itu semakin dingin saja. Tetangga kami, bapak-bapak yang tergabung dalam genk motor Puls*r dari Gresik mengadakan pesta kecil-kecilan di halaman pondokan. Lantunan musik dangdut yang diselingi musik sejenis disko diputar kencang-kencang menghidupkan suasana malam di pos. Beberapa dari kami pun ikut gabung berjoget ria bersama mereka. Lumayan lah, bisa menghangatkan diri dari dinginnya malam Ranu Pane.

Bersambung ke part2...

Thursday, November 3, 2011

KENAPA MENDAKI GUNUNG...???

Banyak orang yang menganggap kegiatan mendaki gunung adalah kegiatan yang sia-sia. Tidak sedikit pula yang menganggap mendaki gunung ialah kegiatan mengantar nyawa. Para pendaki sendiri pun kesulitan menjawab jika ditanya untuk apa mendaki gunung, sebagian hanya bisa berkata “coba dulu baru tahu rasanya”. 

Sebenarnya apa sih tujuan mendaki?, apa rasanya ketika mendaki?, apa rasanya bisa menginjakan kaki di puncak-puncak tertinggi?, apakah tidak capek berjalan menanjak menahan beban?, apakah tidak berbahaya hidup di alam yang masih belum tersentuh peradaban?. Mungkin pertanyaan tersebut adalah sedikit contoh pertanyaan yang sering dilontarkan kepada para pendaki gunung. Tujuan dari para penggiat alam atau yang biasa disebut “pecinta alam” ini  sendiri beragam. Dari mulai olahraga, hobi, penaklukan, pelatihan, penelitian, maupun sekadar keluar dari kepenatan aktifitas sehari-hari.   

Saya sendiri melakukan pendakian gunung dengan tujuan sebagai pembelajaran tentang apa yang sedang saya dalami saat ini. Geografi menuntut saya dapat peka terhadap hubungan keruangan segala aspek di permukaan bumi. Dan kepekaan tersebut didapatkan dengan mengenalinya langsung di lapangan. Selain itu mendaki gunung juga membuat saya mampu mengenali diri sendiri, lingkungan sekitar, dan sadar akan kebesaran tuhan. Sir Edmund Hillary (orang yang pertama kali menaklukan Everest) pernah berkata, “It is not the mountain we conquer, but ourselves”. Memang benar bahwa mendaki gunung bukanlah sekadar menaklukan ketinggian, tetapi juga untuk menaklukan ego diri kita sendiri. Mendaki gunung mengingatkan kita terhadap hal-hal kecil yang pada kehidupan sehari-sehari sering dilupakan.  

Sir Hendry Dunant (bapak palang merah dunia) pernah berkata, “Sebuah negara tidak akan pernah kekurangan seorang pemimpin apabila anak mudanya sering bertualang di hutan, gunung, dan lautan.” Satu lagi hal yang didapatkan ketika mendaki gunung adalah melatih jiwa kepemimpinan. Apa yang diucapkan Sir Henry Dunant bukan sekadar teori belaka. Bertualang adalah kegemaran yang bisa diaplikasikan siapapun. Bertualang dapat meningkatkan keterampilan kita dalam leadership, team work, manajemen, strategi, dan kesemua itu nyata sekali dampaknya pada kehidupan kita. 

Pada akhirnya saya ingin mengatakan bahwa mendaki gunung sangatlah banyak manfaat dan faedahnya. Hanya saja memang dalam pendakian segala sesuatunya tidak bisa dilakukan sembarangan. Perlu persiapan dan manajemen perjalanan yang baik untuk mensukseskan pendakian sehingga pada gilirannya kita bisa mendapatkan manfaat-manfaat dari perjalanan tersebut.