Friday, September 30, 2011

CATATAN PERJALANAN GUNUNG WELIRANG (3159 MDPL) MALANG, JAWA TIMUR (3-10 Juli 2011) 1

Siang itu kereta api ekonomi matarmaja meninggalkan stasiun Pasarsenen tepat pukul 14.00. Seketika angin segar pun berhembus memberikan kesegaran kepada kami yang memang sudah kepanasan di dalam kereta sejak satu jam lalu. Hari ini kami para GMCers akan berangkat menuju Malang tepatnya ke salah satu gunung yang banyak dikunjungi di Jawa Timur yakni gunung Welirang. Perjalanan kali ini dalam rangka perjalanan panjang yang merupakan salah satu alur penerimaan anggota baru (PAB) GMC UI. Dengan komposisi sembilan caang (baca: calon anggota) dan dua mentor, kami tetap percaya diri melakukan perjalanan dengan misi pengumpulan database gunung Welirang via gunung kembar. 

Senin, 4 Juli 2011        
Sekitar pukul 05.00 kereta singgah di stasiun Blitar. Udara dingin mulai menyeruak menghembus tubuh kami. Semakin mendekati Malang rasanya semakin dingin saja. Berbeda jauh dengan perjalanan saya ke Surabaya tahun lalu dimana banjir keringat kala itu ketika kereta memasuki Surabaya. Akhirnya kereta tiba di stasiun Kota Baru Malang pukul 07.00. Selanjutnya perjalanan dilanjutkkan ke entrance Tretes dengan angkot carteran. Biayanya Rp.150.000,-/angkot. Pukul 11.30 tim tiba di entrance Tretes. Terdapat sedikit masalah klasik yang akhirnya memaksa kami membayar uang tambahan Rp.50.000,- untuk dua angkot yang kami tumpangi. Sopir-sopir angkutan setempat tidak terima rutenya dilalui oleh angkot carteran kami. Oh ya, sekadar informasi, setidaknya terdapat lima rute pendakian menuju gunung Arjuno ataupun Welirang. Lima jalur tersebut adalah Tretes, Batu, Ceger, Lawang, dan Purwosari. Kami memilih Tretes karena rute ini merupakan rute pendakian yang paling dekat ke Welirang serta biasa dilalui oleh para pendaki.    

Jalan Aspal Menuju Pos Pet Bocor  
Saya tidak menyangka dengan apa yang saya liat di tretes. Jejeran hotel, lalu lalang angkutan, serta suasana khas tempat wisata menyambut kedatangan kami di Tretes. Padahal dibayangan saya entrance pendakian hanya sebuah pondokan di ujung desa yang jauh dari keramaian. Tretes layaknya Cibodas di salah satu lereng Pangrango yang sudah banyak terintervensi manusia. Ya, inilah Tretes salah satu tempat wisata di kab. Pasuruan.
Anggota tim dari kiri ke kanan;  
Berdiri: Gibran, Adi, Mbay, Sule, Dika, Troy, 
Tunggal, Arma, Vivi.  Jongkok: Hasan, Cipta
Selesai pack ulang, registrasi pendakian, dan foto bersama petugas PHPA, kami langsung bergegas treking menuju pos Pet bocor. Rencananya kami akan camp di pos Kokopan malam nanti. Jalur menuju Pet bocor masih berupa jalan aspal. Namun tetap saja, baru berjalan lima belas menit keringat sudah membasahi kaos yang saya kenakan. Teman-teman yang lain pun tidak jauh berbeda dengan saya, malahan para ladies nampak kepayahan sekali. Masih penuhnya barang bawaan dan rasa kaget akan medan nampaknya menjadi faktor penyebab rasa lelah kami. 

Setelah sekitar satu jam kami tiba di pos Pet bocor. Areal datar dan luas yang juga bisa dipakai untuk camp. Selain itu juga terdapat warung dan pipa bocor tentunya. Usai plotting dan istirahat  kami kembali melanjutkan perjalanan. Baru sekitar lima belas menit trekking kami kembali menjumpai sebuah pos yang pada plang petunjuknya tertera dengan nama pos Pantau/jaga. Sebuah pos/ruangan di sebelah kanan jalur berukuran sekitar 3x3m yang sepertinya sudah tidak digunakan lagi. Pos ini juga sebagai tempat berakhirnya jalan aspal/cor.

Jalan Berbatu Menuju Kokopan
Selanjutnya jalur berubah menjadi jalan berbatu yang memang dikondisikan demikian oleh perhutani setempat untuk akses jeep pengangkut belerang. Jalur berbatu ini terasa menyulitkan bagi kami. Meskipun lerengnya tidak terlalu terjal (sekitar 20° atau 45%), namun tetap saja jalan kami jadi melambat akibat jalur berbatu tersebut. Kami tiba di pos Kokopan tepat ketika azan maghrib berkumandang. Di Kokopan ini masih terdengar suara azan meski hanya terdengar sayup-sayup. Oh Ya, sebelum pos Kokopan kami juga menjumpai sebuah makam di sebelah kiri jalur, makam ini letaknya agak tersembunyi sehingga jarang dijumpai oleh pendaki. Selanjutnya kami membuat camp di shelter ini. Total dua tenda berukuran enam orang dan satu tenda berukuran dua orang berdiri. Malam itu kami melakukan evaluasi dan merencanakan planning untuk esok hari.

Selasa, 5 Juli 2011
Sunrise di Kokopan
Paginya saya bangun pukul 05.00 yang kemudian disusul dengan teman-teman lainnya. Dinginnya udara pagi membuat mereka malas keluar tenda. Padahal  pemandangan diluar cukup eksotis. Panorama sun rise ditemani dengan gagahnya sosok gunung penanggungan menjadi keindahan yang cukup mempesona.

Kokopan-Pondokan 4-5 jam
Pukul 10.00 kami melanjutkan perjalanan menuju shelter Pondokan. Seperti hari sebelumnya saya dan Cipta selaku mentor jalan di belakang caang. Track yang kami lalui masih berupa jalan berbatu. Disepanjang perjalanan menuju Pondokan ini kami menjumpai sebuah pipa bocor, akar-akaran tumbang, dan beberapa tempat datar di sisi jalur. Kondisi trek cukup terbuka dengan pinus sebagai vegetasi dominan. Tak jarang terlihat lutung dan beberapa jenis burung yang asik mondar-mandir disekitar jalur. Hingga pos Pondokan jalurnya masih berbatu, tapi lebarnya makin menyempit. 

Lelah juga rasanya treking di medan seperti ini. Jalur naik konstan dengan sedikit kelokan disana sini. Semilir angin yang menghantam pinus menciptakan suara-suara semriwing yang menyejukkan tetapi juga menakutkan. Beberapa kali saya terlibat obrolan ringan dengan Cipta, dari mulai soal kuliah sampai perilaku-perilaku caang yang kadang membuat muka merah padam (lebay amat bos.hehe). Membandingkan mereka dengan ketika kami masih caang setahun lalu, sekaligus menjadi bahan evaluasi terhadap diri sendiri. Namun yang paling sering ialah bernostalgia mengenang pendakian Argopuro setahun lalu yang tak mungkin kami lupakan. Jalur yang tidak terlalu terjal dengan tutupan hutan rapat yang diselingi savana luas sangatlah jauh jika dibandingkan dengan trek welirang yang saya lalui saat itu. Belum lagi keindahan padang savana Cikasur yang sangat luas dengan kokok merak dimalam dan pagi hari serta suasana mistis nan menakjubkan di Danau Taman Hidup yang selalu menggugah keinginan saya untuk selalu kembali kesana. Ya paling tidak kami tim yang saat itu ke Argopuro sepakat disana merupakan salah satu Heaven in Indonesia.
Sesaat kemudian kami menjauhi punggungan dan tibalah di lembahan tempat/base camp penambang belerang yang disebut Pondokan. Banyak terdapat bangunan beratapkan jerami dengan aroma belerang disana sini. Sekitar pukul tiga saat itu. Segera saja tiga tenda kembali berdiri. Segelas kopi dan sepiring indomi goreng adalah dua hal yang pertama tersaji usai berdirinya tenda.

Pos Pondokan
Lama-kelamaan dingin juga rasanya. Tapi keinginan bermalas-malas di dalam tenda dengan terbungkus sleeping bag bermerek a*tech sirna setelah saya teringat suatu hal yang amat penting. Guyuran air ke wajah, tangan, kening, dan kaki terasa sangat dingin dan menyegarkan. 2x2 di selembar ponco 2x1 saya laksanakan dengan penuh khidmat disertai rasa syukur yang tak ada habisnya atas keindahan ciptaan Allah yang maha kuasa. 

Planning kembali disusun dan persedian logistik kembali dilakukan pengecekan ulang, itulah yang lakukan malam itu. Pratinjau kesiapan pemetaan Welirang-Kembar1-Kembar2-Arjuno rasanya perlu dilakukan. Hasilnya, hanya tiga orang + satu mentor (Mbay, Adi, Gibran, dan saya) yang menyatakan bersedia melakukan itu. Lainnya memilih menuju Pasar Dieng via Lembah Kijang. Rencananya dua tim ini akan bertemu di Pasar Dieng dan camp disana besok malamnya. 
    
Rabu, 6 Juli 2011
Kurang lebih pukul tiga dini hari saya terbangun. Di luar sana sudah tampak kasak-kusuk teman-teman tengah melakukan persiapan. Pukul 05.30 tim kembar telah siap berangkat. Carir telah berdiri, jaket telah dikenakan, dan cahaya diufuk timur sudah mulai membagunkan aktifitas pagi di Pondok belerang. Lolong anjing hutan yang samar-samar dikejauhan dan pesan teman-teman tim kijang untuk hati-hati (tim kijang dan tim kembar; kami menyebutnya seperti itu) mengantarkan kami menelusuri lekuk-lekuk hutan pinus dipagi itu. Dengan tempo 30 menit jalan dan 5 menit istirahat kami berempat percaya diri akan menaklukan puncak Welirang dalam empat jam kedepan. 

“Wah treknya lebih terjal dari yang kemarin nih, tapi masih lebih empuk diinjak” kata Adi dengan nafas yang terengah-engah. Di depan sudah terlihat saddle/punggungan yang menghubungkan Welirang dengan Kembar1. Itu tandanya sudah dekat, kami makin bersemangat menuju kesana. Hingga akhirnya kami tiba di saddle tersebut dimana terdapat Edelweis yang nampaknya sedang tidak mekar. Tak terasa sudah dua setengah jam kami trekking. Lelah memang, tapi hamparan pemandangan indah khas ketinggian 2900an mdpl seakan menyihir dan menghilangkan rasa lelah kami. 

Ada dua jalur menuju Welirang dari sini. Yang satu menyusuri punggungan dan satu lagi sedikit memutar (melipir) yang biasa dilalui penambang. Kami memilih jalur yang pertama dengan catatan akan melalui jalur penambang ketika turun nanti. Hal ini kami lakukan agar semua jalur dapat terpetakan. Jalur sempit menanjak curam kami lalui disusul dengan batu-batu besar dengan sedikit vegetasi. 

Makan apel dulu mas...
“Guys, kita break dulu deh, engap gw” kata Gibran yang nampak sudah kepayahan. “Eh ni apel yang ada di gw kita makan aj ya, buat ganjel perut” kata Mbay sambil cengangas cengenges dengan gaya khasnya. “Iye tuh lumayan buat ngademin tenggorokan” saya melanjutkan.
Kami memang sempat membeli apel di pasar Singosari untuk suplai vitamin ketika kami berada di gunung. “Seger juga y makan apel di ketinggian 3000, nyes-nyes gimana gitu”, ujar gw yang sedang mengunyah apel yang berwarna hijau kemerahan itu. “Bener banget, lumayanlah buat ngebasahin bibir yang udah mulai pecah-pecah” sambung Mbay. “Eh san, kira-kira sengah jam lagi nyampe ga ya?” tanya Mbay ke gw. “Nyampe lah tu udah keliatan puncaknya. Yud yuk jalan lagi” jawab gw dengan nada sok tau. Sejenak kemudian kami bangun dan melanjutkan perjalanan. Jalur semakin menanjak tajam membuat kami semakin kepayahan. Carir yang menggantung dipundak kami rasanya sangat memberatkan. Ingin rasanya menurunkan carir dan segera lari “ngacir” menuju ke puncak (kaya bisa aja.hehe). Kami memang membawa carir karena harus membawa semua barang bawaan dan bertemu dengan tim kijang di Pasar Dieng nanti malam. Meninggalkan carir di lembah edelweis di bawah tadi pun rasanya tidak mungkin karena banyak penambang belerang yang berlalulalang. 

Ditengah rasa lelah yang begitu sangat, tiba-tiba Adi yang jalan paling depan berteriak “puncak,..puncak”. Seketika saya kembali semangat dan langsung mengejar mereka yang memang sudah jauh di depan. Tapi,.................$#&!*?. “Mbay, kalo ini puncak itu apaan?” tanya Adi sambil menunjuk sesuatu berwarna putih di depan yang menjulang tinggi. Kami semua saling tengok satu sama lain dengan penuh keheranan. Semangat itu kini berganti lemas dan cemas. Ditambah lagi panasnya terik matahari yang sudah mendekati pukul 11. Dengan langkah gontai kami kembali mengarungi pasir dan batu-batuan menuju puncak tertinggi Welirang. Kembali naik yang kemudian sedikit turun disusul dengan mengitari sebuah kawah yang sudah tidak aktif. Di bawahnya terdapat banyak batu-batuan yang sedemikian rupa dibentuk menjadi rangkaian huruf nama-nama dari para pendaki yang coba mengabadikan namanya.

Menuju puncak beneran. hosh..hosh
Tidak terlintas pikiran untuk turut membuat yang seperti itu. Yang ada dipikiran kami saat itu segera menaklukan puncak Welirang dan segera turun kembali lewat jalur penambang. Dari sini kembali terlihat dua puncak tinggi yang kembali membingungkan kami. Lelah, panas, berat, dan pikiran yang kurang tenang nampaknya membuat kami jadi tidak bisa memastikan mana puncak yang paling tinggi. Segera saja Mbay menurunkan carir dan menghampiri seseorang yang terlihat sedang mengangkuti belerang di sekitar kawah. “Puncak paling duwure sing endi pak?”. Tanpa menjawab, sang bapak hanya menunjuk ke arah puncak yang sebelah kanan. “Oowh,. Suwun ya pak”, lanjut Mbay kepada si bapak tadi. Kembali si bapak hanya mengangguk pelan tanpa menjawab. Terik panas yang menyengat di ketinggian 3100 saat itu memang membuat malas siapa saja yang berada disana untuk mengeluarkan kata-kata. Rasanya memang ingin segera menyudahi segala aktifitas dan merebahkan diri di tempat yang nyaman. Saya pikir penambang belerang tersebut merasakan hal yang sama seperti kami, tapi bedanya itu sudah menjadi pekerjaan mereka sehingga suka tidak suka harus mereka selesaikan. 

Bersambung ke part 2 ...

Saturday, September 24, 2011

CATATAN PERJALANAN GUNUNG ARGOPURO (3088 MDPL) PROBOLINGGO, JAWA TIMUR (7-16 Juli 2010) 2

11 Juli 2010

Cikasur dipagi hari
Pukul 05.00 kami bangun. Kali ini bukan dengan suara ayam seperti biasanya, melainkan suara burung merak yang saling saut menyaut. Terdengar ramai suaranya tapi tak satupun yang menampakan diri. Kami sarapan dan bersiap-siap, pukul 10.00 kami melanjutkan perjalanan. Ditengah-tengah per jalanan barulah kami melihat seekor merak yang terbang seperti ayam. Disini beberapa dari kami juga melihat dua orang pendaki ke arah Cisentor. Dan anehnya pendaki tersebut tidak pernah kami temui lagi.
Perjalanan tetap pada jalur yang landai dan melalui sabana, kemudian memasuki hutan dengan rumput-rumput yang tinggi. Mendekati Cisentor kami berjalan melewati jurang yang banyak ditumbuhi tanaman-tanaman berduri dan tanaman Djancok atau yang lebih dikenal dengan Jelatang. Jika terkena rasanya seperti ditusuk jarum dan akan lama hilangnya. Tidak lama berjalan pukul 13.30 kami sudah mencapai Cisentor. Meskipun hari masih terang kami memutuskan untuk mendirikan tenda dan beristirahat disitu untuk menghemat tenaga karena kami mentargetkan untuk mencapai dua puncak esok hari.

12 Juli 2010
 Pos Cisentor
Bangun pukul 04.00. Dan untuk mencapai target, hari itu kami membentuk dua tim. Tim 1 terdiri dari empat orang dan satu mentor sedangkan sisanya pada Tim 2. Tim 1 direncanakan menaklukan puncak Argopuro lalu menyusul Tim 2 yang menuju puncak Rengganis. Dua tim ini dibentuk agar target dokumentasi untuk dua puncak tercapai. Dengan membawa barang-barang dan perbekalan yang diperlukan serta meninggalkan sisa perbekalan dan tenda di Cisentor, akhirnya pukul 06.20 kami mulai berangkat menuju puncak dengan Tim 1 berjalan didepan. Kami sempat kesasar dan membuang waktu sekitar satu setengah jam. Pada akhirnya kami kembali ke titik dimana kami mulai salah jalur dan melanjutkan perjalanan menuju Rawa Embik. Tiba disana pukul 10.00.

Savana Lonceng
Kami terus berjalan dan tiba di Savana Lonceng pukul 11.30. Terdapat percabangan kearah Puncak Rengganis, Puncak 2, dan Puncak Argopuro. Tim 1 yang sudah sampai Savana Lonceng lebih dulu langsung mendaki Puncak Argopuro. Sampai di Puncak Argopuro pukul 11.50. Terdapat sebuah makom. Dipuncak ini vegetasinya tertutup sehingga kabut dipuncak cukup tebal. Tim 2 dari Savana Lonceng menuju arah Puncak Rengganis dan sampai di puncak pukul 12.00.

Maqom Dewi Rengganis
Setelah dokumentasi dan istirahat, Tim 1 menyusul Tim 2 ke Puncak Rengganis dengan melalui Savana Lonceng dan sampai pada pukul 12.30. Di puncak Rengganis ini terdapat bekas candi-candi dan tempat petilasan Dewi Rengganis. Disini juga terdapat dua makom. Tempatnya lebih terbuka dibanding Argopuro karena disini merupakan bekas kawah. Bau belerang cukup menyengat disini, karenanya setelah selesai dokumentasi kami kembali turun ke Savana Lonceng. Pukul 13.15 kami sudah sampai lagi di Savana Lonceng. Karena hari masih terang akhirnya sebagian Tim 2 menaiki Puncak Argopuro, sedangkan sebagian Tim 1 menaiki Puncak 2 dan sisanya menunggu di Savana Lonceng. Pukul 14.00 kami sudah berkumpul kembali di Savanna Lonceng dan lanjut turun ke Cisentor. Sampai Cisentor Pukul 16.00. Kami kembali beristirahat dan memulihkan tenaga untuk perjalanan esok hari.

13 Juli 2010
Puncak Argopuro
Hari ini pun kami bangun pukul 04.00 dan bersiap untuk turun. Kami turun melalui jalur bremi pukul 08.00. Tanpa diduga ternyata jalur bremi jauh lebih berat. Dalam pikiran kami jalan turun akan cepat, nyatanya jalur tidak hanya turun, melainkan naik turun yang cukup menguras tenaga. Di jalur ini kami melalui hutan lumut yang mana terdapat tanaman Djancok yang jauh lebih banyak dibanding pada jalur Baderan. Dengan jalur yang berat itu kami baru sampai Cemoro Limo pukul 13.40 dan istirahat makan siang disana selama satu jam. Kami melanjutkan perjalanan yang masih naik turun tetapi kali ini tidak terlalu terjal dan lebih banyak turun. Kecepatan jalan melambat karena beberapa dari kami mengalami cedera pada ankle dan otot. Ditengah perjalanan hujan mulai turun rintik-rintik dan lama tidak berhenti. Akhirnya kami mengeluarkan ponco dan raincoat untuk dikenakan dan melanjutkan perjalanan. Hari mulai gelap dan jam menunjukkan pukul 18.00 kami tak kunjung menemukan percabangan yang mengarah ke Danau Taman Hidup.
Pukul 18.30 kami stop berjalan dan membentuk tim kecil terdiri dari lima orang termasuk satu mentor untuk mencari jalan. Sekitar 1 jam berlalu tim tersebut kembali dan menjadi penunjuk arah ke Danau Taman hidup yang ternyata sudah cukup dekat. Dua puluh menit berjalan, tepatnya pukul 20.00 kami sampai di Danau Taman Hidup dan mendirikan tenda serta beristirahat.

14 Juli 2010
Danau Taman Hidup
Karena terlalu lelah hari ini kami bangun pukul 06.00. Sebelum bersiap, kami menikmati indahnya Danau Taman Hidup pagi hari. Disekitar tempat kemah terdapat jejak babi hutan dan macan dahan yang masih baru. Kami juga bertemu dengan seorang penduduk Bremi yang akan memancing di danau. Pukul 10.00 kami start melanjutkan perjalanan turun. Kali ini sudah tidak ada tanjakan lagi, hanya saja turunan kali ini lebih terjal sehingga perjalan pun lebih lambat karena beberapa orang masih cedera. Pukul 13.00-13.40 kami istirahat untuk makan siang ditengah perjalanan dan melanjutkan kembali perjalanan. Tidak lama kami berjalan kami memasuki kawasan hutan karet dimana sudah ada aktivitas penduduk disitu. Setelah itu melalui perkebunan jagung dan akhirnya kami sampai pada pos Bremi pukul 14.50. Pos tersebut kosong tidak ada yang menjaga. Kami beristirahat hingga pukul 15.30 dan menuju polsek Krucil. Di polsek Krucil kami beristirahat dan membersihkan diri serta mencari kendaraan untuk pulang. Akhirnya setelah semua beres kami menyewa sebuah mobil elf untuk menuju Probolinggo. Kami berangkat pukul 20.00 dan sampai di Probolinggo pukul 21.00 dan langsung sambung dengan bis menuju Terminal Bungurasih. Sampai di Bungurasih pukul 00.30 dan sambung lagi dengan menaiki elf menuju Stasiun Pasar Turi. Pukul 01.00 kami sudah sampai di stasiun dan menunggu untuk membeli tiket. Loket dibuka pukul 09.00 dan kami langsung memesan kereta Kertajaya yang kali ini ada nomor duduknya. Kereta berangkat pukul 15.30 dan tiba di Pasarsenen pukul 06.30.
Senang rasanya sahabat, berharap kalian juga dapat menikmatinya.
GMCers 2008 dan 2009

Tuesday, September 20, 2011

CATATAN PERJALANAN GUNUNG ARGOPURO (3088 MDPL) PROBOLINGGO, JAWA TIMUR (7-16 Juli 2010) 1

7 Juli 2010
Kegiatan dimulai dengan berkumpul di kosan Vio yang terletak di Pondok Cina pukul 07.30 untuk melakukan pengecekan barang, briefing, dan berdoa sebelum berangkat. Sebelumnya tiga dari anggota kelompok kami sudah berangkat terlebih dahulu menuju Stasiun Pasar Senen untuk membeli tiket kereta api menuju Surabaya. Dari kosan Vio, tepatnya pukul 08.30 kami menunggu bis Mayasari Bhakti 134 jurusan Depok-Pasar Senen dijalan Margonda. Pukul 09.00 bis datang dan kami beserta para mentor langsung naik bis yang belum terisi penuh itu dan berangkat menuju Stasiun Pasar Senen. Ada dua anggota yang berangkat menyusul karena ada SP dan bangun kesiangan.

Kereta sebelum berangkat, St.Tg.Priok
Sampai di Stasiun Pasar Senen pukul 10.00. Tiket kereta sudah ditangan. Kami menaiki kereta Kertajaya kelas ekonomi dengan harga tiket Rp 43.500,- yang berangkat pukul 15.30. Kami datang lebih awal karena pada hari itu kereta Kertajaya tidak memberikan nomor duduk melainkan bebas tempat duduk. Setelah beberapa lama menunggu dan bertanya kesana-kemari, kami dapat informasi bahwa kereta Kertajaya start dari Stasiun Tanjung Priok. Dengan memastikan bahwa kereta benar-benar start dari Tanjung Priok, pukul 11.20 kami langsung berangkat menuju Stasiun Tanjung Priok dengan menaiki Metromini 24 dari depan Stasiun Pasar Senen. Sampai di Stasiun Tanjung Priok memang benar sudah ada kereta Kertajaya yang sedang menunggu jam keberangkatan. Akhirnya kami naik dari stasiun tersebut dan keretanya masih kosong sehingga kami mendapat tempat yang lumayan nyaman. Beberapa orang yang menyusul keberangkatannya sampai pada pukul 13.30. dan kereta pun berangkat menuju Surabaya pukul 15.41.

8 Juli 2010
Elf atau Lin di Besuki
Sesampainya di Stasiun Pasar Turi, Surabaya, pukul 09.25 kami beristirahat sejenak. Dua orang dari kami mencari kendaraan yang menuju terminal Bungurasih. Tepatnya pukul 10.28 kami semua menaiki bis P-06 jurusan Merak-P.Turi dari pertigaan tidak jauh dari stasiun. Pukul 11.10 sampai di terminal Bungurasih. Kamipun beristirahat dan makan siang sambil mencari bis menuju Probolinggo. Selesai makan dan istirahat, kami langsung menaiki bis jurusan Surabaya-Banyuwangi pada pukul 12.05 dan turun di terminal Bayuangga Probolinggo pukul 15.10. Sempat bingung bertanya-tanya arah menuju desa Baderan akhirnya kami menaiki bis jurusan Situbondo-Bondowoso dan turun di alun-alun Besuki pukul 17.05. Dekat alun-alun terdapat Alfa Mart sehingga beberapa dari kami membeli air dan makanan yang masih kurang. Kami menyewa mobil elf yang biasa disebut dengan taxi atau “lin” oleh masyarakat setempat yang memang biasa dipakai oleh para pendaki yang menuju Baderan. Pukul 17.30 berangkat dan sampai desa Baderan pukul 18.20

Begitu sampai kami bertemu dengan pendaki yang baru saja turun dari jalur baderan. Kami mengobrol sedikit menannyakan informasi mengenai jalur. Setelah itu kami langsung lapor kepada Pos KSDA (Konservasi Sumber Daya Alam) Baderan dan mengalami sedikit masalah karena kami tidak membawa SIMAKSI (Surat Izin Masuk Wilayah Konservasi). Dengan lobi yang cukup gencar, akhirnya kami diizinkan mendaki tanpa SIMAKSI dengan syarat jika kembali lagi untuk mendaki harus membawa SIMAKSI. Setelah proses perizinan selesai, kami beristirahat ditempat yang memang sudah disediakan untuk para pendaki.

9 Juli 2010
Shelter 3, Pemberhentian ojek
Kegiatan dimulai dengan bangun pukul 05.00 untuk persiapan dan sarapan. Beberapa pergi ke pasar dengan menaiki ojek karena lokasi pasar cukup jauh. Beberapa melakukan negosiasi dengan tukang ojek offroad yang biasa mengantarkan pendaki sampai Mata Air 1 bahkan sampai Cikasur. Tetapi dengan kondisi jalur yang cukup becek, para tukang ojek hanya berani mengantar sampai ke Shelter 3 dengan ongkos Rp 20.000,-. Pukul 08.10 kamipun menaiki 10 ojek yang diperuntukkan 17 orang dengan 17 carrier penuh terisi barang. Sehingga beberapa ojek mengangkut 2 orang 1 carrier atau 2 carrier 1 orang. Suatu perjalanan yang penuh getaran dan tidak dapat dipikirkan dengan akal sehat menggunakan sepeda motor yang nampak sudah akan rontok spare parts nya, dengan beban berat, jalan berbatu, dan pastinya menanjak.

Pukul 08.45 kami sampai di Shelter 3. Di Shelter 3 kami beristirahat sejenak karena ternyata naik ojek offroad cukup melelahkan juga. Kami melakukan pemanasan dan orientasi medan disini dan melanjutkan trekking pukul 09.40. Sesuai dengan informasi yang kami punya memang betul jalur Baderan landai dan hanya sedikit saja jalur yang cukup curam sehingga kami tidak terlalu lelah. Kami istirahat makan siang di area datar ditengah perjalanan pukul 12.35 selama 1 jam. Dan melanjutkan perjalanan yang masih tergolong landai dan sampai di Pos Mata Air 1 pukul 14.30. Disana kami mendirikan tenda, istirahat, makan malam, dan tidur.

10 Juli 2010
Camp Mata Air 1
Kami bangun pukul 05.00 untuk memasak dan persiapan trekking. Kemudian mulai berangkat pukul 09.05. Belum jauh berjalan, perjalanan terhenti sejenak karena salah seorang dari kami yang sedang haid mengalami sakit perut. Akhirnya kami sharing barang untu meringankan bebannya. Setelah cukup pulih, kamipun melanjutkan perjalanan kembali.
Mata Air 1
Jalur sudah mulai agak terjal dengan vegetasi didominasi dengan rumput-rumput dan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Ditengah perjalanan terdapat bekas batang pohon terbakar yang disampingnya terdapat pohon besar. Menurut petugas pos KSDA kita harus meninggalkan permen atau rokok ditempat itu. Karena tidak mau ambil resiko, kamipun melakukan hal tersebut.
Cukup lama kami berjalan dan merasa lelah, rasa lelah tersebut rasanya hilang begitu melihat sabana yang cukup luas nan indah dengan rumput-rumput yang cukup lebat dan empuk untuk ditiduri. Sebuah pohon besar gagah berdiri ditengah-tengahnya. Itulah Alun-alun Kecil. Kamipun beristirahat makan siang disana tepatnya pukul 12.30. Angin yang bertiup kencang mulai terasa dingin karena terlalu lama beristirahat, kamipun melanjutkan perjalanan pukul 13.45.
Alun-alun kecil
Jalur pun menanjak dengan terjal karena kami mengitari gunung Jambangan. Setelah itu melewati beberapa sabana seperti alun-alun kecil dan landai hingga akhirnya kami menemui sabana luas yang jauh lebih luas dari yang sebelumnya. Sebuah sungai kecil mengalir cukup deras dengan air yang sangat jernih. Disini juga terdapat bekas pondasi bangunan serta bekas landasan terbang dan sebuah saung kecil dari kayu. Dan kami yakin bahwa tempat ini adalah Cikasur. Pukul 16.20 saat itu dan langsung mendirikan tenda dan beristirahat. Oh ya, di sungai kecil ini terdapat selada air yang boleh diambil sesuka hati untuk dimakan para pendaki. Di sungai ini kami juga mengisi persediaan air dan beberapa dari kami membersihkan diri.

Wednesday, September 14, 2011

CATPER GN.CIKURAY (2813 MDPL)

Pagi itu di Buana Khatulistiwa (Beka) telah ramai dipenuhi anak-anak GMC UI yang sedang melakukan persiapan akhir perjalanan. Ya, hari itu kami para GMCers akan melakukan perjalanan menuju gunung Cikuray di Garut. Perjalanan kali ini diikuti oleh 14 orang yang terdiri atas saya (Hasan), Dewa, Cipta, Angga, Arga, Aazis, Harry, Wulan, Ali, Asti, Sandi, ka Croty, ka Iyus dan Om Sapta.

Kamis, 3 Feb 2011

Pukul 06.15 kami mulai meninggalkan basecamp Buana Khatulitiwa. Selanjutnya perjalanan menuju terminal kp. Rambutan dengan menggunakan mikrolet 19 warna merah jurusan Depok-Rambutan dengan tarif Rp.4.000,-. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan menaiki bus tujuan Garut dengan tarif Rp.35.000,-. Tepat pukul 13.00 bus tiba di terminal garut. Tim memutuskan untuk Istirahat hingga pukul 14.00. Ternyata terdapat masalah transportasi sehingga kami baru berangkat ke Cilawu setengah jam kemudian. Kami ke Cilawu dengan menggunakan angkot carteran dengan tarif Rp.6.500,-/orang. Sekadar informasi, setidaknya terdapat empat rute pendakian menuju gunung Cikuray yakni rute Cilawu (Dayeuhmanggung), rute Cikajang, rute Cihuru-Cigedug (Bayongbong), dan rute Pamalayan. Kami memilih rute Cilawu karena rute ini merupakan rute pendakian yang biasa dilalui oleh para pendaki.

Cilawu-Stasiun relay-Pos1-Pos2-Pos3-Puncak
Tim tiba di pertigaan Dayeuhmanggung pukul 15.30. Dikarenakan hujan, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke stasiun relay tv. Hari itu kami bermalam di masjid pangkalan ojek setelah mendapatkan izin tentunya. Sebenarnya malam itu --menurut manajemen perjalanan yang telah kami buat-- kami seharusnya tidak masak untuk makan malam. Tetapi karena persediaan uang menipis, kami memutuskan untuk memasak walaupun seadanya. Malam itu kami makan nasi dengan martabak mie dan kerupuk sebagai lauknya. Kami juga diberikan makanan dan minuman ringan oleh pak haji pengurus masjid setempat. Warga disanapun sangat ramah dan welcome dengan kedatangan kami. Malam itu kami juga mengadakan briefing membicarakan alternatif planning untuk esok dan hari berikutnya.

Jum’at, 4 feb 2011
Pukul 03.30 beberapa dari kami bangun untuk memasak. Pagi itu menu kami cukup berbobot yakni nasi, ayam goreng, dan sayur tumis. Setelah packing dan beberes, kami langsung menyambangi tukang ojek yang memang telah dipesan sebelumnya. Pukul 06.50 satu persatu motor ojek mulai berjalan. Jalur yang dilewati cukup menanjak dan licin sehingga beberapa motor ojek mengalami kesulitan. Waktu tempuh pun jadi diluar perkiraan. Tarif yang berlaku untuk ojek ini Rp.30.000,-.

Kabut Tebal
Tim memulai tracking menuju pos1 pukul 08.15. Estimasi waktu mencapai pos1 adalah tiga jam. Kondisi saat itu berkabut tebal. Jarak pandang hanya berkisar 10 meter. Tidak ada pemandangan berarti yang dapat kami lihat. Yang saya tahu, saat itu kami sedang melalui perkebunan teh dayeuh manggung. Baru lima belas menit kami berjalan, beberapa anggota tim sudah mulai kelelahan. Tebalnya kabut dan rasa kaget akan medan yang dilalui nampaknya penyebab rasa lelah kami. Kami bahkan sempat salah arah meninggalkan jalur treking. Beruntung ada segerombolan pemetik teh yang memberitahukan bahwa kami telah meninggalkan jalur treking. Ketika kami telah kembali ke jalur treking (batas hutan), saya ditunjuk untuk menjadi leader. Tidak terlalu sulit memang karena jalur pendakian hanya di satu punggungan. Namun curamnya medan membuat langkah kami semakin melambat. Saat itu kabut tebal sudah mulai menghilang.

Medan yang Terjal, Lembab, Khas Gunung Jawa Barat
Pukul 10.00 beberapa dari kami telah mencapai pos1. Pos1 ini menjadi titik kontrol pertama keutuhan jumlah tim kami. Pos1 berada di ketinggian 2037 m dpl, dan berada pada posisi 7° 19' 15" LS, 107° 52' 46" BT. Di area ini setidaknya bisa memuat dua tenda. Pukul 10.30 kami melanjutkan perjalanan menuju pos2. Jalur pendakian semakin menanjak terjal, hutan semakin rapat. Kami semakin banyak menghabiskan air. Beberapa dari kami mensiasati dengan memakan permen ataupun coklat.

Pukul 11.30 tim tiba di pos2. Tempat yang cukup datar berada pada ketinggian 2271 m dpl, dengan koordinat 7° 19' 15" LS dan 107° 52' 46" BT. Cukup untuk memuat 2 tenda. Di pos ini kami bertemu dengan pendaki lain dari Unikom Bandung yang sedang istirahat untuk turun. Di pos ini kami makan siang dengan roti burger yang memang sudah disiapkan sejak pagi. Walaupun kurang mengenyangkan, namun cukup untuk mengganjal perut yang lapar. Pukul 12.15 kami kembali melanjutkan perjalanan ke pos3. Jalur yang terjal (kemiringan lereng sekitar 30° atau 65%) membuat kami kewalahan. Tak jarang lutut berada didepan wajah karena saking terjalnya. Baru berjalan beberapa langkah saja nafas langsung memburu, lutut gemetar, dan beban seakan bertambah berat. Di saat seperti itu yang dapat kami lakukan ialah menyemangati satu sama lain.

Camp di Pos3
Akhirnya kami tiba di pos3. Tempat yang cukup datar, luas, dan terbuka yang bisa memuat 4-5 tenda. Berada pada ketinggian 2539 m dpl dengan koordinat 7° 19' 32" LS dan 107° 51' 98" BT. Pos3 ini biasa disebut juga puncak bayangan. Khawatir akan turun hujan tim memutuskan untuk ngecamp disini. Langsung saja kami mendirikan tenda di pos3 ini. Benar saja, belum selesai pendirian tenda hujan mulai turun. Kami pun mempercepat pendirian dan pembongkaran barang-barang. Beberapa lainnya membuat teduhan dengan flysheet.
Hujan tak kunjung reda membuat kami tak bisa melakukan apa-apa. Semuanya berada di dalam tenda. Total tiga tenda yang berdiri sebagai shelter bagi kami. Saya, Harry, om Sapta, ka Iyus, ka Croty ditenda l*fuma. Arga, Ali, Aazis, Angga ditenda col*man. Sisanya di tenda col*man milik dewa.

Badai
Hari mulai gelap, namun hujan belum juga berhenti. Malah semakin lebat dan disertai angin kencang. Posisi kami yang berada di areal terbuka nampaknya tidak menguntungkan. Angin terus datang menyambar kami. Gemuruh suaranya seakan ingin merobohkan tenda-tenda kami. Suhu malam itu pun semakin dingin, termometer mencatat saat itu suhu mencapai 10°C. Malam itu kami hanya makan seadanya yakni dengan sosis dan nugget. Hujan angin membuat kami tidak dapat melakukan aktifitas. Hanya menghangatkan diri dan sedikit bersendagurau yang dapat kami lakukan untuk mengusir kedinginan dan kecemasan.
Hari semakin larut, sedang badai belum kunjung reda. Saya dan Harry sibuk menahan frame tenda agar tidak patah. Kondisi tenda lainnya pun tak jauh beda. Malam itu kami tidur dengan kecemasan, membayangkan esok pagi bangun sudah tanpa tenda.hahaha

Sabtu, 5 feb 2011

Pagi pukul 06.00 kami bangun. Hujan memang sudah hilang, tapi angin masih tetap kencang. Beruntung hingga pagi ini tenda-tenda kami masih tetap kokoh berdiri. Rencananya pagi ini kami akan melanjutkan ke puncak Cikuray. Namun kami menunggu hingga kabut mereda.

Kepuasan di Puncak Cikuray
Setelah mempersiapkan segala keperluan, kami langsung bergegas menuju puncak. Kali ini tim kami minus ka Croty dan ka Iyus yang memang mengalami cidera. Kondisi jalur kali ini lebih curam dari sebelumnya. Udara pun sangat terasa lembab. Kami kepuncak tidak sendiri, ada serombongan pendaki lain yang ikut bersama kami.
Kami makin bersemangat ketika mendekati puncak, ditambah lagi terlihat sekumpulan edelweis di sebelah kiri jalur. Hingga akhirnya tibalah kami di puncak cikuray. Areal datar yang cukup luas dan terdapat bangunan di tengahnya. Angin kencang berhembus disertai kabut tebal menyambut kami.
Total dua jam menuju puncak dari pos3. Seperti kebiasaan sebelumnya, saya dan beberapa teman lainnya langsung membuka baju sebagai ungkapan kepuasan mencapai puncak. Saya juga sempat naik keatas bangunan yang berada disana. Ggrrggrgrgr....dingin sekali rasanya.
Setelah cukup puas dan telah melakukan dokumentasi secukupnya, kami kembali turun ke pos3. Makanan telah disiapkan oleh ka Iyus dan ka Croty. Sehabis muncak langsung makan enak, mantab. Selanjutnya packing dan beres-beres perjalanan turun. Kami turun melalui jalur yang sama.

Hasan Nur Aminudin
G 0909 UI

Tuesday, September 6, 2011

CI LIWUNG MERANA, POTRET BURAM WAJAH IBUKOTA

Mata saya tak lepas memandangi ke arah kaca mobil ketika mobil yang saya tumpangi melintasi sebuah sungai besar di kawasan Gadog, Bogor. Air yang mengalir deras membentur bebatuan yang terlihat disegala sisi menciptakan suara dentuman air yang khas. Ya, Gede-Pangrango mengalirkan airnya melalui Ci Liwung, sebuah sungai besar yang melintas dari Puncak sampai Jakarta. Kondisi lembab seusai hujan menciptakan suasana dingin nan menyejukkan di segmen hulu sungai tersebut. Warna air yang kecoklatan menandakan telah tergerusnya butiran tanah oleh hujan yang baru saja berhenti di sana.

Ci Liwung di Tirtajaya, Depok
Saya jadi teringat beberapa waktu yang lalu saat saya iseng-iseng menyusuri Ci Liwung dari Depok sampai Jakarta. Sangat mencolok bedanya ketika saya coba membandingkan kondisi Ci Liwung di Puncak, Depok, dan Jakarta. Ci Liwung memang sudah tercemar dari hulu sampai hilirnya, namun yang saya saksikan langsung saat itu lebih parah dari yang awalnya saya duga. Sampah dan bau tak sedap menjadi teman saya saat penyusuran sungai kala itu. Ci Liwung di Depok memang masih terlihat asri, namun jika lebih dicermati kondisinya sudah menuju kearah yang memprihatinkan. Endapan-endapan sampah yang tersangkut membentuk pulau-pulau sampah kecil yang banyak terlihat di beberapa titik badan sungai. Kondisi airnya? “Sampahnye aja banyak, gimane aernye”, mungkin itulah ungkapan kedaerahan yang tepat untuk menggambarkan segmen sungai di selatan Jakarta tersebut. Jika dilihat memang nampak seperti sungai dewasa umumnya. Namun, kandungan materialnya menurut saya sudah bisa membahayakan. Warna air juga sewaktu-waktu dapat berubah menjadi coklat kehitaman yang bahkan sesekali menghitam pekat.

Ci Liwung di Pasarrebo, Jaktim
“Lah trus yang di Jakarta gimane tuh?”. Bingung juga saya menceritakannya. Rasanya nggak tega kalau harus menceritakan saluran besar yang membelah ibukota tersebut. Sedih campur kecewa ketika saya melihat di segmen Ci Liwung Pasarrebo sudah banyak terlihat rumah-rumah semi permanen terselip di antara rimbun vegetasi tepian sungai. Airnya? Sudah lebih parah dari yang di Depok tentunya. “Dari mulai puncak aja udah pada buang limbah ke kali, gimana yang di Jakarta”. Air memang terus mengalir sesuai hukum hidrodinamika dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Membawa berbagai muatan yang sengaja dibuang ke Ci Liwung dari mulai hulu sampai hilir. Dari mulai Puncak memang sudah terlihat pipa-pipa pembuangan limbah yang mengarah ke Ci Liwung. Tidak hanya industri yang ikut andil dalam mencemari, masyarakat pun tak jauh bedanya dengan mereka. Ironisnya, pembuangan limbah dilakukan langsung tanpa melalui proses pengolahan. Instalasi pengolahan limbah (IPL) sebagai prosedur pembuangan tidak dilakukan oleh industri-industri yang saling berlomba mengejar segala keuntungan semata. 

Ci Liwung di Kampung Melayu
Cawang, Kampung Melayu, Manggarai, parah, semakin parah, kronis, sangat kronis, semakin memprihatikan. Penyempitan badan sungai terjadi disana-sini. Populasi manusia disekitar bantaran semakin tidak terkendali. Saya terus membatin dalam hati, mengelus dada, gelengkan kepala melihat semua kerusakan ini. Banjir pasti akan selalu menghantui warga ibukota dengan kondisi seperti ini. Terlebih jakarta memang memenuhi syarat banjir secara topografi. 

Yang menjadi sangat berbeda mungkin bentuk sungai dan warna airnya. Sungai dengan aliran cukup deras yang diapit jajaran vegetasi dan segala ekosistemnya dibagian hulu berubah seketika menjadi saluran bermuatan sampah yang dipagari beton disisinya. Malahan banyak juga terlihat rumah-rumah bersandar manis di atas beton tersebut. Airnya adalah air got yang hanya ikan sapu-sapu yang sanggup tinggal disana.  

Ci Liwung memang sudah tercemar hebat, lantas salah siapa?.. Tak patut rasanya menyalahkan pihak-pihak tertentu saja. Ci Liwung salah kita bersama. Bukan hanya salah pemerintah apalagi tukang sampah. Yang kita perlukan hanya kesadaran akan pentingnya Ci Liwung. Namun bagaimana muncul kesadaran jika masih banyak masyarakat Jakarta yang tidak tahu dimana letak Ci Liwung. Sungai yang punya sejarah penting di Ibukota, sungai yang sewaktu-waktu bisa menciptakan bencana bagi warganya. Tapi bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Ci Liwung terjaga kalau semua acuh tak peduli akan nasib sungai ini. Bahkan buang sampah tidak pada tempatnya dilakukan oleh kalangan melarat sampai konglomerat, dari gembel Angke sampai “tangan-tangan kotor” yang tanpa dosa mengeluarkan sampah dari kaca mobilnya. 

Tumpukan Sampah di Pintu Manggarai
Semua bisa berujar miris melihat kondisi Ci Liwung, tapi apa kontribusi praktis untuk Ci Liwung. Tak peduli kepada orang bodoh ataupun orang yang merasa intelek, saya pribadi ingin saya, anda, kita terutama warga ibukota bersama-sama merasa memiliki Ci Liwung dan Jakarta secara utuh. Jakarta memang dipenuhi masyarakat pendatang dari segala penjuru nusantara. Tapi bukan berarti kepedulian menjadi sikap yang paling sulit ditemukan di Ibukota. Ci Liwung bukan hanya milik Direktotat Sumber Daya Air ataupun Pemda DKI Jakarta, Ci Liwung sebagaimana sungai lainnya dan tanah air yang kita cintai ini adalah milik kita semua yang harus selalu dijaga kelestariaanya.

   

Vorstellung

Assalamualaikum..

Selamat datang diBlog baru saya.
Lagi pengen coba iseng-iseng nulis di dunia maya, sape tau aja bisa bermanfaat buat sesama. Pengennya sih sharing tentang perjalanan ane, maklum lagi seneng-senengnya naek gunung. Tapi lebih dari itu sebenernya ane punya mimpi bisa mengelilingi Indonesia tercinta. Negri yang kaya akan segala keindahan alamnya, negri yang ramai dengan segala keberagaman budayanya. Mengingat saat ini sudah banyak orang yang merasa muak dengan kebobrokan negara kita, saya pikir sudah saatnya kita kembali ke semangat kebangsaan yakni semangat Indonesia Raya. Mengutip kata-katanya Soe Hok Gie, “Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat”. Meskipun terkesan idealis, tapi saya pikir pemikiran tersebut cukup realistis.  

Aduh-aduh sok tau amat lu san, kaya yang paling bener aja.haha. Oke-oke daripada makin kemana-mana, saya cukupkan saja kali y. Maafkan kalo ada salah-salah kata, namanya juga masih pemula.hahaha

Hasan Nur Aminudin, seorang Mahasiswa di Universitas yang berada di Depok.
Wassalamualaikum