Tuesday, September 6, 2011

CI LIWUNG MERANA, POTRET BURAM WAJAH IBUKOTA

Mata saya tak lepas memandangi ke arah kaca mobil ketika mobil yang saya tumpangi melintasi sebuah sungai besar di kawasan Gadog, Bogor. Air yang mengalir deras membentur bebatuan yang terlihat disegala sisi menciptakan suara dentuman air yang khas. Ya, Gede-Pangrango mengalirkan airnya melalui Ci Liwung, sebuah sungai besar yang melintas dari Puncak sampai Jakarta. Kondisi lembab seusai hujan menciptakan suasana dingin nan menyejukkan di segmen hulu sungai tersebut. Warna air yang kecoklatan menandakan telah tergerusnya butiran tanah oleh hujan yang baru saja berhenti di sana.

Ci Liwung di Tirtajaya, Depok
Saya jadi teringat beberapa waktu yang lalu saat saya iseng-iseng menyusuri Ci Liwung dari Depok sampai Jakarta. Sangat mencolok bedanya ketika saya coba membandingkan kondisi Ci Liwung di Puncak, Depok, dan Jakarta. Ci Liwung memang sudah tercemar dari hulu sampai hilirnya, namun yang saya saksikan langsung saat itu lebih parah dari yang awalnya saya duga. Sampah dan bau tak sedap menjadi teman saya saat penyusuran sungai kala itu. Ci Liwung di Depok memang masih terlihat asri, namun jika lebih dicermati kondisinya sudah menuju kearah yang memprihatinkan. Endapan-endapan sampah yang tersangkut membentuk pulau-pulau sampah kecil yang banyak terlihat di beberapa titik badan sungai. Kondisi airnya? “Sampahnye aja banyak, gimane aernye”, mungkin itulah ungkapan kedaerahan yang tepat untuk menggambarkan segmen sungai di selatan Jakarta tersebut. Jika dilihat memang nampak seperti sungai dewasa umumnya. Namun, kandungan materialnya menurut saya sudah bisa membahayakan. Warna air juga sewaktu-waktu dapat berubah menjadi coklat kehitaman yang bahkan sesekali menghitam pekat.

Ci Liwung di Pasarrebo, Jaktim
“Lah trus yang di Jakarta gimane tuh?”. Bingung juga saya menceritakannya. Rasanya nggak tega kalau harus menceritakan saluran besar yang membelah ibukota tersebut. Sedih campur kecewa ketika saya melihat di segmen Ci Liwung Pasarrebo sudah banyak terlihat rumah-rumah semi permanen terselip di antara rimbun vegetasi tepian sungai. Airnya? Sudah lebih parah dari yang di Depok tentunya. “Dari mulai puncak aja udah pada buang limbah ke kali, gimana yang di Jakarta”. Air memang terus mengalir sesuai hukum hidrodinamika dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Membawa berbagai muatan yang sengaja dibuang ke Ci Liwung dari mulai hulu sampai hilir. Dari mulai Puncak memang sudah terlihat pipa-pipa pembuangan limbah yang mengarah ke Ci Liwung. Tidak hanya industri yang ikut andil dalam mencemari, masyarakat pun tak jauh bedanya dengan mereka. Ironisnya, pembuangan limbah dilakukan langsung tanpa melalui proses pengolahan. Instalasi pengolahan limbah (IPL) sebagai prosedur pembuangan tidak dilakukan oleh industri-industri yang saling berlomba mengejar segala keuntungan semata. 

Ci Liwung di Kampung Melayu
Cawang, Kampung Melayu, Manggarai, parah, semakin parah, kronis, sangat kronis, semakin memprihatikan. Penyempitan badan sungai terjadi disana-sini. Populasi manusia disekitar bantaran semakin tidak terkendali. Saya terus membatin dalam hati, mengelus dada, gelengkan kepala melihat semua kerusakan ini. Banjir pasti akan selalu menghantui warga ibukota dengan kondisi seperti ini. Terlebih jakarta memang memenuhi syarat banjir secara topografi. 

Yang menjadi sangat berbeda mungkin bentuk sungai dan warna airnya. Sungai dengan aliran cukup deras yang diapit jajaran vegetasi dan segala ekosistemnya dibagian hulu berubah seketika menjadi saluran bermuatan sampah yang dipagari beton disisinya. Malahan banyak juga terlihat rumah-rumah bersandar manis di atas beton tersebut. Airnya adalah air got yang hanya ikan sapu-sapu yang sanggup tinggal disana.  

Ci Liwung memang sudah tercemar hebat, lantas salah siapa?.. Tak patut rasanya menyalahkan pihak-pihak tertentu saja. Ci Liwung salah kita bersama. Bukan hanya salah pemerintah apalagi tukang sampah. Yang kita perlukan hanya kesadaran akan pentingnya Ci Liwung. Namun bagaimana muncul kesadaran jika masih banyak masyarakat Jakarta yang tidak tahu dimana letak Ci Liwung. Sungai yang punya sejarah penting di Ibukota, sungai yang sewaktu-waktu bisa menciptakan bencana bagi warganya. Tapi bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Ci Liwung terjaga kalau semua acuh tak peduli akan nasib sungai ini. Bahkan buang sampah tidak pada tempatnya dilakukan oleh kalangan melarat sampai konglomerat, dari gembel Angke sampai “tangan-tangan kotor” yang tanpa dosa mengeluarkan sampah dari kaca mobilnya. 

Tumpukan Sampah di Pintu Manggarai
Semua bisa berujar miris melihat kondisi Ci Liwung, tapi apa kontribusi praktis untuk Ci Liwung. Tak peduli kepada orang bodoh ataupun orang yang merasa intelek, saya pribadi ingin saya, anda, kita terutama warga ibukota bersama-sama merasa memiliki Ci Liwung dan Jakarta secara utuh. Jakarta memang dipenuhi masyarakat pendatang dari segala penjuru nusantara. Tapi bukan berarti kepedulian menjadi sikap yang paling sulit ditemukan di Ibukota. Ci Liwung bukan hanya milik Direktotat Sumber Daya Air ataupun Pemda DKI Jakarta, Ci Liwung sebagaimana sungai lainnya dan tanah air yang kita cintai ini adalah milik kita semua yang harus selalu dijaga kelestariaanya.

   

No comments:

Post a Comment