Wednesday, September 5, 2012

I JUST WANT TO YOU KNOW THAT I ACTUALLY ...


Matahari datang sungguh menerangi
Tetapi ia tenggelam meninggalkan gelap di malam hari
Bulan dengan senyum datang sebagai pengganti
Tetapi cahayanya redup tak mengimbangi
Apakah aku harus seperti matahari dan bulan
Yang memberikan harapan dan kemudian tenggelam

            Ada sepasang kekasih yang menghabiskan waktunya bersama berdua
            Ada pula yang sehari-harinya bertengkar tak tentu arah
            Apakah aku harus memposisikan diri seperti mereka
            Yang sebentar rela hati dan terhenyak dalam kegalauan dikemudian hari

Aku memang bukan rangga yang pandai meluluhkan cinta dengan puisinya
Aku juga bukan seorang pendiam yang tak peduli dengan wanita
Tapi bukan berarti aku tak memikirkan soal hubungan kita
Yang selama ini kau anggap dalam rel yang lurus-lurus saja

                        Hari hari cepat berlalu
                        Meninggalkan tanda tanya dalam hati
                        Musim pun silih berganti
                        Bahkan sampai dirinya tak dipercaya lagi
                        Tapi entah mengapa aku masih begini hingga saat ini
                        Tak mengerti soal cinta dan keinginan wanita

            Aku bukan penganut cinta sayangku 
            Yang selalu punya ide memberikan kejutan kepadamu
            Bahkan sesuatu yang pasti pun aku tak mampu
            Meninggalkan kekecewaan dan harapan lesu
           
Im here wanna say sorry to you
About every of my folly for you
I just want to you know that I actually really really love you

Wednesday, August 8, 2012

MERAPI TERHARU

9 Mei 2012
Hmmh..
Malam itu saya tertunduk lesu di sudut Stasiun Pasar Senen. Sebabnya apalagi kalau bukan soal tiket kereta api. Perubahan sistem yang kini tidak membolehkan tiket berdiri saya kira akan menguntungkan kami selaku pengguna jasa kereta ekonomi jarak jauh. Nyatanya tidak. Sejak diberlakukannya sistem tersebut, saya malah sering tidak kebagian tiket. Bukan karena kalah cepat mengantri, tetapi karena tiket sudah ludes diborong para calo. Bayangkan, tiket dibuka h-7 keberangkatan pukul 07.00. pukul 09.00 sudah ludes. Gilanya lagi, ketika saya penasaran menawar ke calo, tiket yang harganya Rp.35.000 dijual Rp.120.000 di calo. SINTING..!!

16 Mei 2012
Setelah menimbang beberapa hal, akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan bus saja seharga Rp.125.000 dengan tujuan Terminal Jombor di Sleman. Perjalanan dimulai dari Pal Depok pukul 16.00. 
 
17 Mei 2012
Singkat cerita pagi pukul 08.00 kami tiba di Terminal Jombor. Disitu kami memesan tiket bus arah balik dan belanja logistik yang masih kurang.

Pertigaan Klatar
Pukul 10.00 kami berangkat menuju Magelang menggunakan bus jurusan Magelang-Semarang dengan ongkos Rp.8000,-. Kami turun di pertigaan Blabak sejam kemudian. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkot kuning sampai pertigaan Klatar. Dari Klatar lanjut menggunakan angkot pink dengan tujuan pertigaan Selo. Kami turun  di Barameru basecamp pendakian merapi. Dari sini masih harus naik lagi untuk sampai di entrance pendakian  New Selo.
Basecamp Barameru
Pukul 12.00 kami tiba New Selo. Tampaknya New Selo ini juga sebagai tempat favorit kunjungan masyarakat. Tak heran selain pendaki,  New Selo ramai dikunjungi masyakat dan muda mudi disana. Terdapat warung makan, warung kopi, toilet, serta pemandangan dan suasana yang menyejukkan hati dan jiwa tentunya.    
Ohya, kami juga sempat menanyakan kepada penduduk setempat asal muasal kata Selo. Katanya, dinamakan Selo karena berada di sela (celah), celah diantara dua gunung. Ya, memang Selo berada di Saddle gunung Merapi dan Merbabu. 

ki-ka: Eron, Dewa, Mbay, Hasan, dan Arga
Usai istirahat, makan, dan packing ulang, kami bersiap untuk memulai pendakian. Pukul 14.00 saat itu. Cuaca cukup bagus meski sedikit berkabut. Awal pendakian masih berupa kebun-kebun penduduk. Kondisi ini terus berlanjut setidaknya sampai terlihat Plang konservasi. 
Plang Konservasi
Jalur di awal pendakian
Setelah Plang, jalur semakin menanjak dan menyempit. Kondisi trek juga cukup licin untuk dipijak. Tak lama kemudian tibalah kami di Pos 1. Area datar yang cukup untuk duduk-duduk beristirahat. Tempat datar ini memanjang mengikuti jalur. Ya cukuplah kira-kira untuk satu tenda. Dari Pos 1 ini juga sudah dapat terlihat sosok Merapi dan Merbabu.
Pos 1

Trek Menuju Pos 1
  
Perjalanan dilanjutkan menuju Pos 2. 
Punggungan trek terlihat jelas hingga ke Puncak. Ini karena trek cukup terbuka dan semakin terbuka. Jika sebelumnya yang diinjak kaki adalah tanah yang terselip bebatuan, kini sebaliknya. Pijakan sudah menjadi bebatuan yang terselip tanah. 

Jalur terus menanjak dan semakin curam saja. Tentu saja ini membuat langkah kami semakin melambat. Beruntung pemandangan senja masih dapat menghadirkan senyum semangat. 
Trek Menuju Pos 2. (latar belakang Merbabu)
Pos 2. latar belakang Merapi (diambil saat turun)
Sebelum maghrib kami berempat tiba di Pos 2. Satu teman kami yaitu Arya Sadewa masih tertinggal di belakang. Kami menunggu sambil meluruskan kaki. Menunggu sembari mengunyah dan menikmati pemandangan Selo yang hanya berupa kerlap-kerlip cahaya. Indahnya.,,,

Matahari sudah tak nampak lagi, digantikan cahaya bulan yang redup menerangi. Saya, Mbay, dan dua teman pendaki lain memutuskan untuk berangkat lebih dahulu menuju Pasar Bubrah. Alasannya sederhana, agar ketika yang lain tiba tenda sudah berdiri. Kami pun bergegas. Headlamp sudah terpasang dan langkah cepat pun dijalankan. Sayang, tiba-tiba kabut tebal datang menerjang. Cahaya dari headlamp yang saya gunakan tak kuasa menembus tebalnya kabut. Beruntung kawan pendaki lain, yaitu si Oki dari Jogja, menggunakan senter besar yang bercahaya kuning. Lumayan bisa lebih menerangi langkah kaki. Dalam keadaan seperti ini, kami lebih banyak menggunakan intuisi. Asal jalan tidak menurun ya itulah punggungannya. Setidaknya cara itu berhasil sampai kami tiba di In Memoriam pelajar pencinta alam SMAN 4 Jogja. 

In Memoriam
Dari sini kami tidak langsung melanjutkan perjalanan. Perasaan ragu dan khawatir muncul di benak kami berempat saat itu. Sudah tidak ada jalan menanjak, tidak ada lagi yang dapat menjadi patokan. Gps yang saya bawa memang menunjukan bahwa Pasar Bubrah sudah dekat, tapi itu tak cukup meyakinkan kami untuk melanjutkan langkah. Kami lebih memilih menunggu hingga semuanya berkumpul kembali. 

Camp Pasar Bubrah
Kabut semakin tebal, hawa dingin mulai menusuk. Tak bergerak membuat kami meringkuk kedinginan. Senter besar Oki masih menyorot kearah jalur yang tadi kami lewati sebagai penanda bagi teman-teman yang masih di belakang. Akhirnya satu persatu teman-teman muncul. Di sisi lain kabut mulai menghilang dan Merapi mulai menampakkan sosoknya dalam kegelapan. Saya mulai mencoba mencari tanda-tanda bekas perkemahan dimana Pasar Bubrah berada. Dan, di area datar dekat bongkahan batu besar kamipun mendirikan tenda.
 
Tenda sudah berdiri, barang-barang sudah ditata. Saatnya masak memasak. Menu malam ini rawon campur ala chinesse food. Sayang, entah karena angin ataupun memang sedang tidak beruntung, nesting yang kami gunakan tumpah. Padahal sedang tidak dipegang. Ya terpaksalah saya pungutin daging yang berjatuhan. Sayang kalau dibuang, masih bisa dicuci dan dimasak lagi. Hehehe..

18 Mei 2012
Pukul 03.00 dini hari kami bangun. Tanpa berlama-lama di dalam balutan sleeping bag kami membuat sarapan. Roti topping coklat dan mie rebus. Cukup untuk kalori sampai puncak.     

Di luar sudah mulai berdatangan pendaki-pendaki dari Pos 2 yang akan summit. Kamipun bersiap-siap Summit Attack. Tak lupa kami melakukan pemanasan dan berdoa sebelum memulai. Mbay memimpin di depan. Terus bergerak ke kiri menghindari pasir yang menghadang. Memang dari sumber-sumber yang kami baca, untuk dapat mencapai puncak harus mengambil sisi kiri (timur) dari arah Pasar Bubrah.   

Segaris cahaya fajar mulai muncul, tetapi puncak masih terlihat jauh di depan. Kali ini saya bertekad harus bisa menikmati Sun Rise di puncak. Langkah yang mulai melambat kembali saya percepat. Sampai akhirnya saya tiba di bibir kawah. Masih ada puncak yang lebih tinggi, tetapi medan menuju kesana cukup sulit dilalui. Saya memilih beristirahat di bibir kawah sembari menikmati Sun Rise. 
Kawah

Sun Rise


Mbay sudah lebih dahulu tiba di Puncak. Disusul Dewa yang langsung tanpa mampir ke bibir kawah. Saya, Arga, dan Eron yang masih di bibir kawah segera menyusul menuju Puncak tertinggi. Dengan sangat berhati-hati kami menapak medan berbatu yang cukup ekstrim ini. Kira-kira 4-5 meter di bawah puncak tertinggi kami berhenti. “Ini berbahaya”, gumam saya dalam hati. Puncak Merapi yang tinggal selangkah lagi rasanya tidak mungkin dilalui. Pijakannya terlalu kecil dan licin untuk diinjak. Belum lagi kecuramannya yang membuat dengkul bergidik nyeri. Saya jadi teringat cerita-cerita pendaki yang menyebutkan kalau beberapa bulan yang lalu ada yang terjatuh dan terguling-guling ketika hendak naik dari tempat tepat saya berdiri. Lama saya berpikir memutuskan ke puncak atau tidak. Atas tekad sedari awal dan dorongan Mbay dan Dewa akhirnya saya putuskan untuk naik. 
Menuju puncak. (latar belakang bibir kawah)
Sedikit lagi
Kaki mulai di pijakkan. Saya mencoba tidak melihat ke bawah. Yang saya tekankan bahwa saya harus menginjakan puncak merapi pagi itu juga. Dan akhirnya dengan izin-Nya saya pun tiba di Puncak Merapi. Terdapat plang kecil penanda yang meyebutkan bahwa di situ adalah Puncak baru Merapi. Angin begitu kencang bertiup bercampur gas yang keluar dari kawah. Saya hanya bisa termenung dalam hati menyaksikan suasana seperti ini.

Ya inilah Merapi. Satu lagi gunung yang mengesankan hati. Terkenal karena ke-aktifan-nya, dipuja sebab keberkahannya. Berharap suatu saat aku, engkau, dan kita bersama masih bisa bercengkrama dengannya kawan.  

New Peak
Puncak sang Garuda

Tuesday, May 1, 2012

PAPUMA, PANTAI INDAH YANG TERSEMBUNYI

Siang hari usai shalat jum’at, terjadi kerumunan orang di Terminal Arjasa, Jember. Bapak-bapak berdialek madura mengerumuni kami berempat (saya, Mbay, Rindang, dan Ipung) dalam negosiasi harga angkutan. Ya, saya saat itu memang sedang dalam survey pendahuluan KKL-3 yang pelaksanaannya masih sebulan kemudian. Tapi bukan itu yang saya akan ceritakan. Kali ini saya akan menceritakan perjalanan atau lebih tepatnya kunjungan ke Pantai Pasir Putih Malikan (PAPUMA). 
Tanjung PAPUMA (Sumber: Citra Geo Eye-Google Earth 2007)
Negosiasi dengan supir-supir di Arjasa yang notabene adalah masyarakat Madura memang tidak mudah. Kami cukup kerepotan beradu argumen disana. Selesai urusan, kami langsung bergerak menuju selatan Jember. Melewati daerah kota kearah Kaliwates kemudian turun ke selatan melewati kecamatan Jenggawah. Jalan menuju Ambulu ini cukup lebar. Bus berukuran besar pun dapat lewat tanpa kesulitan. Terus ke selatan sejauh 30 km dan berbelok ke arah kanan ketika menemui baliho besar tanda gapura PAPUMA dan Watu Ulo.

Jalan Menuju PAPUMA
Selanjutnya jalan melipir bukit kapur sejauh 1 km disusul riuhnya hamparan hutan Jati. Sampai sini jalan sudah mulai menyempit. Sekitar 3-4 m yang hanya cukup untuk satu bus tanpa berpapasan. Di penghujung jalan terdapat pertigaan, ke arah kiri (timur) menuju Watu Ulo, ke arah kanan (barat) menuju PAPUMA. Loket masuk kedua pantai ini berbeda karena beda pengelolaan. Watu Ulo dikelola Pemkab sedangkan PAPUMA dikelola Perhutani setempat.  

Pintu Masuk PAPUMA
Biaya masuk untuk pantai ini dikenakan sebesar Rp.5000,- /orang. Dari pintu masuk ini  PAPUMA masih harus ditempuh dalam waktu 10 menit jika menggunakan kendaraan atau setara 30 menit bila berjalan kaki. Kita juga bisa menggunakan jasa angkutan ojek dengan ongkos Rp.5000,-.
Belum-belum kami langsung disuguhi oleh keindahan muara dengan view laut selatan di dekat pintu masuk. Kami pun menyempatkan berfoto dulu di jembatan ini.

Muara ... (gak tau namanya.hehe)
Selanjutnya jalan menanjak melintasi tanjung dengan gear 1 pada sepeda motor. Lagi-lagi suguhan view pantai exotic dari ketinggian yang semakin membuat penasaran. Jalan kemudian turun meninggalkan tanjung dan sampailah kami di PAPUMA. Terdapat parkiran yang cukup luas disini. Kami pun langsung memarkir motor dan segera menyisiri pantai. Selanjutnya sudah bisa ditebak, capture foto sana sini.

Pantai di teluk yang dikelilingi tanjung yang menjulang menciptakan suasana yang tak biasa. Belum lagi pasir putih yang membuat kami tak bosan berlarian diatasnya. Semakin mendekati tanjung, kondisi pantai semakin berbatu. Kami masih menahan diri untuk bermain air karena ingin terlebih dahulu naik ke atas tanjungnya. Jalan sudah dibuat bertangga untuk naik ke atas tanjung. Meskipun hanya naik sebentar, tetap saja membuat napas kembang kempis. Faktor umur mungkin.hehehe

Tangga menuju atas tanjung
Semakin berbatu mendekati tanjung

Dari atas tanjung, pemandangan tak kalah menarik. Saya bisa melihat dan membandingkan pantai sebelah barat dan sebelah timur tanjung. Dari atas juga terlihat jelas gaharnya Nusa Barong.

ki: Ujung Tanjung (latar belakang: Nusa Barong),   ka: Foto (Rindang, Ipung, Mbay, Hasan)
Tak sabar main air, kami langsung menceburkan diri di laut. Airnya cukup jernih, tetapi salinitasnya cukup tinngi untuk ukuran di pantai saya kira. Beberapa meter saja ke arah laut badan sudah tenggelam. Sesuai dengan ciri pantai selatan. Harap berhati-hati bagi yang tidak bisa berenang.

Oiya, di pantai ini juga banyak ditambatkan perahu-perahu nelayan lokal setempat. Namun nelayan-nelayan tersebut bukanlah penduduk disana. Mereka berasal dari desa-desa sekitar. Dengan kata lain, PAPUMA hanyalah sebagai tempat berlabuh kapal-kapalnya.

Hari mulai gelap, saatnya meninggalkan PAPUMA. Rintik-rintik hujan mengantarkan kepergian kami. Satu lagi pantai indah di Indonesia, di timur jauh Pulau Jawa. PAPUMA, keindahan yang tersembunyi.

Sunday, April 8, 2012

EVALUASI LINGKUNGAN BANTARAN SUNGAI DI KELURAHAN PEJAGALAN, JAKARTA UTARA

Secara umum bantaran sungai diartikan sebagai ruang/wilayah disepanjang tepi sungai. Menurut  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang sungai, bantaran merupakan ruang antara tepi palung sungai dan tepi dalam kaki tanggul. Pada beberapa literatur bantaran juga disebut dengan sempadan sungai yang didefinisikan sebagai wilayah yang meliputi ruang di kiri dan kanan palung sungai di antara garis sempadan dan tepi palung sungai untuk sungai tidak bertanggul, atau diantara garis sempadan dan tepi luar kaki tanggul untuk sungai bertanggul.
Foto: Kali Angke (Dokumentasi Pribadi)
Sempadan sungai sendiri berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan. Merujuk pada pentingnya fungsi ruang tersebut, dibuat peraturan yang mengatur seberapa jauh wilayah bantaran dan penggunaannya agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu. Peraturan yang mengatur hal tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang sungai yang menyebutkan bahwa sempadan paling sedikit berjarak 15 m (lima belas meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, untuk kedalaman sungai lebih dari 3 m (tiga meter) sampai dengan 20 m (dua puluh meter) di wilayah perkotaan. Lahan pada  sempadan sungai diperuntukkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan tidak boleh digunakan sebagai lahan untuk bangunan kecuali untuk fasilitas kepentingan tertentu yang diatur oleh undang-undang. 

Kelurahan Pejagalan adalah salah kelurahan di Jakarta Utara yang dilewati oleh Kali Angke dan Banjir Kanal Barat (BKB). Kali Angke sendiri merupakan salah satu sungai yang cukup besar dan penting keberadaannya di Jakarta, sedangkan BKB merupakan saluran besar yang mengalihkan aliran Ci Liwung menuju barat Jakarta. Dua sungai penting tersebut sudah seharusnya dikelola dengan sebagaimana mestinya. Salah satunya dengan menjaga wilayah sempadan terbebas dari bangunan agar ekosistem sungai tetap terjaga. Namun pada kenyataannya, lahan sempadan sungai sudah terdesak oleh bangunan-bangunan akibat derasnya permintaan akan lahan di Ibukota Jakarta.
Peta Buffer Sungai Kelurahan Pejagalan, Jakarta Utara
Pada peta di atas terlihat bahwa pada sempadan sungai (buffer 15m) terdapat sederet bangunan yang dikategorikan sebagai permukiman disepanjang sempadan kali Angke dan bagian barat daya dari BKB. Pada buffer sungai 25m, keberadaan bangunan semakin banyak dengan kerapatan bangunan yang semakin padat pula. Tercatat sekitar 101.882,9 m² lahan sempadan yang beralih fungsi menjadi lahan terbangun untuk kali Angke dan 52.173,89 m² untuk BKB sehingga total lahan sempadan yang beralih fungsi di Kelurahan Pejagalan sekitar 1,54 km² (pengolahan data arc gis).  
Salah satu bagian sempadan kali Angke dan BKB yang terdesak oleh bangunan
Perubahan penggunaan lahan sempadan tersebut tentu menyebabkan kerusakan pada ekosistem sungai yang berakibat pada meningkatnya besaran runoff yang mempercepat datangnya peak flow sehingga banjir akan lebih cepat datang dengan durasi hujan yang semakin cepat.

Mengapa bisa terjadi demikian? apa saja kerusakan yang ditimbulkan? bagaimana mengatasinya? apa kebijakan yang tepat guna menyelesaikannya?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang banyak muncul dalam berbagai permasalahan lahan. Jelas bahwa desakan permintaan lahan di wilayah perkotaan menjadi penyebab dari alih fungsi sempadan. Manusia dan limpasan air hujan harus bersaing untuk mendapatkan tempat di DKI Jakarta yang luas wilayahnya tidak akan berubah karena kawasan untuk memperluas kota sudah tidak ada lagi. Arus urbanisasi ke Jakarta telah menciptakan lokasi-lokasi permukiman kumuh yang hampir semuanya ilegal. Permukiman semacam ini banyak dibangun di bantaran sungai sehingga merusak ekosistem sungai. Selain itu, lemahnya fungsi kontrol pemerintah yang dalam hal ini menjadi security juga menjadikan ekspansi lahan sempadan semakin tak terbendung. 

Pemerintah sendiri kemudian hanya bisa mengusahakan pembuatan tanggul sungai buatan untuk menahan banjir yang akan tiba dimusim penghujan. Namun dengan adanya tanggul tersebut malah menciptakan masalah baru yaitu masalah genangan.
Masalah genangan di bagian luar tanggul

Belum ada langkah yang solutif yang dapat menangani  permasalahan tersebut. Perlu manajemen yang holistik dan integratif mengingat kasus semacam ini juga terjadi dihampir seluruh sempadan di wilayah perkotaan. Untuk kedepan diharapkan dapat ditemukan penyelesaian yang bersifat win-win solution agar manajemen sungai dapat dilaksanakan secara terpadu, terprogram, dan berkelanjutan. 


Daftar Pustaka:
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai 
  • Taqyudin. 2011. Bahan Ajar Mata Kuliah Evaluasi Sumber Daya Lahan. Departemen Geografi FMIPA UI: Depok 
  • Team Mirah Saketi, 2010. Mengapa Jakarta Banjir. Pengendalian Banjir PemProv DKI Jakarta
  • Upaya Pengendalian Banjir Dengan Peningkatan Peran Serta Masyarakat, Bidang Perencanaan Teknis Dan Tata Bangunan Dinas KIMPRASWIL Kota Malang, 2006

Thursday, April 5, 2012

SUKSES DAN GAGAL GENTRIFIKASI. “STUDI KASUS RUMAH SUSUN ANGKE, TAMBORA”

Tulisan ringan mengenai Urban Geography

The Fragmentation of Urban Areas (Harris and Ullman,1990)
Keberadaan permukiman kumuh dan rendahnya aksesibilitas kaum miskin untuk mendapat hunian yang layak memang merupakan masalah besar yang terdapat di Kota Jakarta. Daya tarik kota sebagai pusat kegiatan ekonomi, perdagangan dan jasa, menyebabkan hadirnya tingkat migrasi desa-kota yang tidak mampu diakomodasi dengan jumlah perumahan layak huni bagi warganya. Kaum miskin menjadi kelompok yang tersingkirkan akibat permasalahan ini.

Gentrifikasi hadir dalam upaya merevitalisasi permukiman kumuh yang ada di perkotaan. Ia merupakan suatu proses reinvestasi suatu lokasi di pusat kota yang dianggap kurang produktif. Namun proses ini juga bukannya tanpa masalah. Bahkan bisa dibilang cenderung menimbulkan masalah baru. Gentrifikasi biasanya diikuti dengan in-migrasi penduduk yang relatif mampu ke wilayah tersebut sehingga lagi-lagi kaum miskin menjadi kelompok yang tersingkirkan dalam hal ini. Masyarakat miskin yang ada termarginalkan sehingga harus berpindah dari kawasan yang digentrifikasi. 

Peningkatan nilai lahan setelah gentrifikasi menjadikan kawasan yang semula kumuh ini mulai “dilirik” oleh pihak luar. Di sisi lain, perubahan ini diikuti oleh ketidaksesuaian tuntutan kebutuhan penduduk setempat. Konsekuensinya, masyarakat asli yang notabene miskin, “terpaksa” berpindah untuk menyesuaikan kebutuhannya.

Salah satu contoh dari kasus gentrifikasi ini adalah kasus Rumah Susun Tambora. Rumah susun dibangun untuk menyelesaikan masalah kepadatan di daerah Tambora. Terdapat 9 unit rumah susun yang dibangun dalam tiga tahap sejak tahun 1983 hingga 1996. Sukses dan gagal mungkin merupakan kalimat yang tepat untuk menilai gentrifikasi yang terjadi disini.

Foto: Rumah Susun Lama (4 tingkat). Sumber: Media Indonesia 21 oktober 2011 18:59 WIB
Rumah Susun yang dibangun pada tahap I dan II (rumah susun lama), dianggap sukses sesuai dengan tujuan awal yakni merevitalisasi kawasan permukiman kumuh dan menempatkan kembali penduduknya setelah revitalisasi. Sedangkan Rumah Susun yang dibangun pada tahap III (rumah susun baru), dianggap gagal karena seiring berjalannya waktu rumah susun tersebut malah ditempati kalangan menengah keatas yang memiliki mobil (lihat foto).  


Foto: Rumah Susun Baru (6 tingkat). Sumber: Kompas Rabu, 19 Oktober 2011 | 14:52 WIB
Kenapa bisa terjadi demikian?. Perlu melihat kebelakang untuk dapat menjawab permasalahan tersebut. Dahulunya, kawasan kelurahan angke merupakan daerah rawa yang tidak layak untuk ditinggali. Seiring berjalannya waktu, dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan di perkotaan, tanah rawa itupun ditimbun/diurug untuk dapat digunakan. Dengan kualitas tanah yang buruk dan tanpa sertifikasi, kawasan tersebut dengan cepat menjadi perkampungan padat dan kumuh. 

Adalah rezim Orde Baru yang kemudian merencanakan melakukan gentrifikasi kawasan permukiman padat tersebut. Tanah kosong seluas 6.800 m² dibangun untuk memindahkan penduduk yang tinggal di lokasi permukiman yang nantinya akan dibangun Rumah Susun II. Selanjutnya, penduduk yang tinggal di atas tanah yang akan dibangun di Rumah Susun III (rumah susun baru), direlokasi ke Rumah Susun II yang telah selesai dibangun. Begitu seterusnya hingga selesai Rumah Susun III. Permasalahan muncul ketika rezim Orde Baru runtuh tahun 1998. Pembangunan Rumah Susun IV yang sejatinya telah direncanakan terpaksa tidak dilanjutkan. Akibatnya, penduduk yang tinggal diatas tanah yang akan dijadikan Rumah Susun IV sudah memiliki hak huni Rumah Susun III, tetapi rumahnya justru tidak jadi digusur. Ketidakjelasan ini yang menciptakan kondisi dimana penduduk yang sudah memiliki hak huni Rumah Susun III lebih memilih menyewakan ataupun menjual hak huni rumah susunnya. Pada akhirnya, justru orang-orang ber-mobil-lah yang menempati Rumah Susun III tersebut.                
Lokasi relatif Rumah Susun Tambora. (Sumber: Citra Geo Eye-Google Earth 2007)
Ya, fenomena Urban memang merupakan kondisi yang sangat penuh dengan turbulensi. Turbulensi tersebut menciptakan distorsi yang melibatkan berbagai dimensi dalam kehidupan. Sulit ditebak apa yang belum dan akan terjadi. Perlu kajian yang komprehensif dan mendalam agar permasalahan urban dapat tertata dengan baik.

Wednesday, February 15, 2012

TRIP KE P. SEMAK DAUN

Semak Daun (kiri atas), Panggang, Karya, dan Pramuka
Tgl 8-10 februari kemarin saya bersama beberapa rekan mengadakan perjalanan ke Kep. Seribu khususnya ke P. Semak Daun. Tujuannya adalah untuk sekadar meliburkan diri dari segala aktifitas perkuliahan yang cukup menyita banyak pikiran dan tenaga. Dimulai dengan mencari berbagai informasi mengenai tempat tujuan, perincian biaya, kondisi cuaca, serta meracuni teman-teman agar mau ikut, akhirnya diputuskanlah trip dua malam ke Semak Daun dengan bergaya backpaker yang ‘murmer’ alias murah meriah. 
Pulau Semak  Daun

Rabu, 8 Februari 2012
Pagi Di Pelabuhan
Setelah memastikan kondisi cuaca yang cukup baik, dengan langkah yakin kami berdelapan (Saya, Sri, Arga, Wulan, Dika, CEM, Faris, dan Denis) sudah berada di Pasar Ikan Muara Angke pukul 06.00. Kami juga menyempatkan membeli sayuran dan keperluan logistik lainnya di pasar Muara Angke. Sesampainya di pelabuhan, ada banyak kapal yang sudah siap mengantarkan penumpang maupun barang menuju pulau-pulau di utara Jakarta. Kami naik kapal Mariska yang tujuannya adalah pulau pramuka yang akan menjadi tempat transit kami nanti.

Pukul 07.15 kapal Mariska mulai beranjak dari tempat parkirnya. Nampaknya kawan-kawan saya hanya sanggup terjaga di setengah jam pertama. Selebihnya perjalanan diisi dengan tidur-tiduran di kapal. 

Di Kapal
Setelah dua jam, dua pulau besar sudah terlihat dikejauhan. Itu adalah pulau Pramuka dan pulau Panggang. Dua pulau ini memang merupakan pulau yang cukup besar dan cukup berkembang di Kep. Seribu. Pulau Pramuka sebagai pusat pemerintahan Kab. Kep. Seribu, sedangkan pulau Panggang sebagai pusat permukiman di Kep. Seribu. 

Tiba di Pramuka
Pukul 10.00 kapal merapat di dermaga pulau Pramuka. Kami langsung menghampiri tukang ojek kapal untuk nego kapal menuju P. Semak Daun. Setelah tawar menawar harga yang cukup alot, didapatlah angka sebesar Rp.150.000,- untuk antar jemput ke Semak Daun. 

Ojek kapal sudah oke, selanjutnya tinggal menyewa peralatan Snorkelling dan sewa galon beserta airnya untuk dua malam di Semak Daun. Saya dan CEM mencari penyewaan air galon, lainnya menuju ke tempat persewaan Snorkelling. Ternyata air galon cuma ada malam hari karena listrik juga cuma menyala di malam hari. Akhirnya kami minta tolong Pak Bob si tukang kapal yang telah sepakat dengan kami tadi untuk meminjamkan galonnya sekaligus minta air tawarnya juga (air hujan). 
Kapal ojek menuju Semak Daun
Kemudian kapal terlebih dahulu menuju pulau Panggang (rumah Pak Bob) untuk mengambil galon beserta airnya. Tapi ternyata galonnya sedang tidak ada karena sedang dipinjam. Walhasil kamipun menggunakan jerigen yang berukuran 30L. Setelah itu kami melanjutkan menuju P. Semak Daun. Dari pulau Pramuka ke Semak Daun dapat ditempuh dalam waktu setengah jam. Pulau Semak Daun Sendiri merupakan sebuah pulau yang berukuran cukup kecil (seukuran lapangan bola) yang belum mempunyai kehidupan. Tidak ada listrik, air tawar, apalagi rumah makan. Penghuninya hanyalah seorang bapak tua yang bernama Amsori atau yang biasa dipelesetkan menjadi bapak Im sorry. Untuk bermalam di pulau ini, dikenakan biaya Rp.10.000,-/orangnya.
Leyeh-leyeh di pulau
Harmoni Alam
Sumur air asin dan kamar mandi
Sisa hari pertama di Semak Daun kami habiskan untuk habituasi/penyesuaian diri dalam bersnorkelling di sekitar pulau. Malamnya, kami menikmati indahnya bulan purnama di atas dermaga. Cukup apik dan menenangkan jiwa, tapi sayang gambar terang bulan tidak terambil karena menghemat baterai kamera. Kami kira besoknya masih bisa dilihat, tapi ternyata besoknya malah mendung.hahahaa 
Sun Set
Kamis, 9 Februari 2012
Hari kedua di Semak Daun kami habiskan untuk bersnorkelling ria di spot snorkelling sekitar pulau Panggang dan pulau Air. Viewnya cukup bagus. Hanya sayang kondisi laut saat itu sedang sedikit keruh dan sedikit bergelombang. Padahal jika musim teduh (sekitar bulan maret-juni) airnya sangat tenang dan organismenya semakin banyak. Semakin sore gelombangnya makin tinggi dan perjalanan kembali ke Semak Daun pun seperti menaiki wahana kora-kora. Mangstrab ,.. 
Perapian
Oiya. Untuk ke spot snorkelling hari kedua ini kami sewa kapal yang kebetulan merapat ke Semak Daun mengantarkan pengunjung lain. Biayanya Rp.80.000,- untuk dua spot snorkelling dengan durasi sekitar tiga jam.
Main Voli pantai
berSnorkelling ria
Jum'at, 10 Februari 2012
Hari ketiga kami meninggalkan Semak Daun pukul 06.15 dan tiba di Pramuka setengah jam kemudian. Rencananya kami akan bersih-bersih dan muter-muter di pulau Pramuka dahulu sebelum naik kapal ke Muara Angke yang setelah sholat jum’at. Tapi ternyata frame tenda ketinggalan di Semak Daun dan itu baru kami ketahui ketika azan berkumandang (kualat sama babeh Im sorry sepertinya.hehehe). Akhirnya Saya dan Arga balik lagi ke Semak Daun setelah sholat jum’at dengan sewa kapal Rp.100.000,-. Beruntung kapal Mandala tujuan Muara Angke mau menunggu kami berdua. Mandala berangkat pukul 14.00 dan akhirnya kami pun tiba kembali di daratan Jakarta.