Thursday, April 5, 2012

SUKSES DAN GAGAL GENTRIFIKASI. “STUDI KASUS RUMAH SUSUN ANGKE, TAMBORA”

Tulisan ringan mengenai Urban Geography

The Fragmentation of Urban Areas (Harris and Ullman,1990)
Keberadaan permukiman kumuh dan rendahnya aksesibilitas kaum miskin untuk mendapat hunian yang layak memang merupakan masalah besar yang terdapat di Kota Jakarta. Daya tarik kota sebagai pusat kegiatan ekonomi, perdagangan dan jasa, menyebabkan hadirnya tingkat migrasi desa-kota yang tidak mampu diakomodasi dengan jumlah perumahan layak huni bagi warganya. Kaum miskin menjadi kelompok yang tersingkirkan akibat permasalahan ini.

Gentrifikasi hadir dalam upaya merevitalisasi permukiman kumuh yang ada di perkotaan. Ia merupakan suatu proses reinvestasi suatu lokasi di pusat kota yang dianggap kurang produktif. Namun proses ini juga bukannya tanpa masalah. Bahkan bisa dibilang cenderung menimbulkan masalah baru. Gentrifikasi biasanya diikuti dengan in-migrasi penduduk yang relatif mampu ke wilayah tersebut sehingga lagi-lagi kaum miskin menjadi kelompok yang tersingkirkan dalam hal ini. Masyarakat miskin yang ada termarginalkan sehingga harus berpindah dari kawasan yang digentrifikasi. 

Peningkatan nilai lahan setelah gentrifikasi menjadikan kawasan yang semula kumuh ini mulai “dilirik” oleh pihak luar. Di sisi lain, perubahan ini diikuti oleh ketidaksesuaian tuntutan kebutuhan penduduk setempat. Konsekuensinya, masyarakat asli yang notabene miskin, “terpaksa” berpindah untuk menyesuaikan kebutuhannya.

Salah satu contoh dari kasus gentrifikasi ini adalah kasus Rumah Susun Tambora. Rumah susun dibangun untuk menyelesaikan masalah kepadatan di daerah Tambora. Terdapat 9 unit rumah susun yang dibangun dalam tiga tahap sejak tahun 1983 hingga 1996. Sukses dan gagal mungkin merupakan kalimat yang tepat untuk menilai gentrifikasi yang terjadi disini.

Foto: Rumah Susun Lama (4 tingkat). Sumber: Media Indonesia 21 oktober 2011 18:59 WIB
Rumah Susun yang dibangun pada tahap I dan II (rumah susun lama), dianggap sukses sesuai dengan tujuan awal yakni merevitalisasi kawasan permukiman kumuh dan menempatkan kembali penduduknya setelah revitalisasi. Sedangkan Rumah Susun yang dibangun pada tahap III (rumah susun baru), dianggap gagal karena seiring berjalannya waktu rumah susun tersebut malah ditempati kalangan menengah keatas yang memiliki mobil (lihat foto).  


Foto: Rumah Susun Baru (6 tingkat). Sumber: Kompas Rabu, 19 Oktober 2011 | 14:52 WIB
Kenapa bisa terjadi demikian?. Perlu melihat kebelakang untuk dapat menjawab permasalahan tersebut. Dahulunya, kawasan kelurahan angke merupakan daerah rawa yang tidak layak untuk ditinggali. Seiring berjalannya waktu, dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan di perkotaan, tanah rawa itupun ditimbun/diurug untuk dapat digunakan. Dengan kualitas tanah yang buruk dan tanpa sertifikasi, kawasan tersebut dengan cepat menjadi perkampungan padat dan kumuh. 

Adalah rezim Orde Baru yang kemudian merencanakan melakukan gentrifikasi kawasan permukiman padat tersebut. Tanah kosong seluas 6.800 m² dibangun untuk memindahkan penduduk yang tinggal di lokasi permukiman yang nantinya akan dibangun Rumah Susun II. Selanjutnya, penduduk yang tinggal di atas tanah yang akan dibangun di Rumah Susun III (rumah susun baru), direlokasi ke Rumah Susun II yang telah selesai dibangun. Begitu seterusnya hingga selesai Rumah Susun III. Permasalahan muncul ketika rezim Orde Baru runtuh tahun 1998. Pembangunan Rumah Susun IV yang sejatinya telah direncanakan terpaksa tidak dilanjutkan. Akibatnya, penduduk yang tinggal diatas tanah yang akan dijadikan Rumah Susun IV sudah memiliki hak huni Rumah Susun III, tetapi rumahnya justru tidak jadi digusur. Ketidakjelasan ini yang menciptakan kondisi dimana penduduk yang sudah memiliki hak huni Rumah Susun III lebih memilih menyewakan ataupun menjual hak huni rumah susunnya. Pada akhirnya, justru orang-orang ber-mobil-lah yang menempati Rumah Susun III tersebut.                
Lokasi relatif Rumah Susun Tambora. (Sumber: Citra Geo Eye-Google Earth 2007)
Ya, fenomena Urban memang merupakan kondisi yang sangat penuh dengan turbulensi. Turbulensi tersebut menciptakan distorsi yang melibatkan berbagai dimensi dalam kehidupan. Sulit ditebak apa yang belum dan akan terjadi. Perlu kajian yang komprehensif dan mendalam agar permasalahan urban dapat tertata dengan baik.

No comments:

Post a Comment