Friday, September 30, 2011

CATATAN PERJALANAN GUNUNG WELIRANG (3159 MDPL) MALANG, JAWA TIMUR (3-10 Juli 2011) 1

Siang itu kereta api ekonomi matarmaja meninggalkan stasiun Pasarsenen tepat pukul 14.00. Seketika angin segar pun berhembus memberikan kesegaran kepada kami yang memang sudah kepanasan di dalam kereta sejak satu jam lalu. Hari ini kami para GMCers akan berangkat menuju Malang tepatnya ke salah satu gunung yang banyak dikunjungi di Jawa Timur yakni gunung Welirang. Perjalanan kali ini dalam rangka perjalanan panjang yang merupakan salah satu alur penerimaan anggota baru (PAB) GMC UI. Dengan komposisi sembilan caang (baca: calon anggota) dan dua mentor, kami tetap percaya diri melakukan perjalanan dengan misi pengumpulan database gunung Welirang via gunung kembar. 

Senin, 4 Juli 2011        
Sekitar pukul 05.00 kereta singgah di stasiun Blitar. Udara dingin mulai menyeruak menghembus tubuh kami. Semakin mendekati Malang rasanya semakin dingin saja. Berbeda jauh dengan perjalanan saya ke Surabaya tahun lalu dimana banjir keringat kala itu ketika kereta memasuki Surabaya. Akhirnya kereta tiba di stasiun Kota Baru Malang pukul 07.00. Selanjutnya perjalanan dilanjutkkan ke entrance Tretes dengan angkot carteran. Biayanya Rp.150.000,-/angkot. Pukul 11.30 tim tiba di entrance Tretes. Terdapat sedikit masalah klasik yang akhirnya memaksa kami membayar uang tambahan Rp.50.000,- untuk dua angkot yang kami tumpangi. Sopir-sopir angkutan setempat tidak terima rutenya dilalui oleh angkot carteran kami. Oh ya, sekadar informasi, setidaknya terdapat lima rute pendakian menuju gunung Arjuno ataupun Welirang. Lima jalur tersebut adalah Tretes, Batu, Ceger, Lawang, dan Purwosari. Kami memilih Tretes karena rute ini merupakan rute pendakian yang paling dekat ke Welirang serta biasa dilalui oleh para pendaki.    

Jalan Aspal Menuju Pos Pet Bocor  
Saya tidak menyangka dengan apa yang saya liat di tretes. Jejeran hotel, lalu lalang angkutan, serta suasana khas tempat wisata menyambut kedatangan kami di Tretes. Padahal dibayangan saya entrance pendakian hanya sebuah pondokan di ujung desa yang jauh dari keramaian. Tretes layaknya Cibodas di salah satu lereng Pangrango yang sudah banyak terintervensi manusia. Ya, inilah Tretes salah satu tempat wisata di kab. Pasuruan.
Anggota tim dari kiri ke kanan;  
Berdiri: Gibran, Adi, Mbay, Sule, Dika, Troy, 
Tunggal, Arma, Vivi.  Jongkok: Hasan, Cipta
Selesai pack ulang, registrasi pendakian, dan foto bersama petugas PHPA, kami langsung bergegas treking menuju pos Pet bocor. Rencananya kami akan camp di pos Kokopan malam nanti. Jalur menuju Pet bocor masih berupa jalan aspal. Namun tetap saja, baru berjalan lima belas menit keringat sudah membasahi kaos yang saya kenakan. Teman-teman yang lain pun tidak jauh berbeda dengan saya, malahan para ladies nampak kepayahan sekali. Masih penuhnya barang bawaan dan rasa kaget akan medan nampaknya menjadi faktor penyebab rasa lelah kami. 

Setelah sekitar satu jam kami tiba di pos Pet bocor. Areal datar dan luas yang juga bisa dipakai untuk camp. Selain itu juga terdapat warung dan pipa bocor tentunya. Usai plotting dan istirahat  kami kembali melanjutkan perjalanan. Baru sekitar lima belas menit trekking kami kembali menjumpai sebuah pos yang pada plang petunjuknya tertera dengan nama pos Pantau/jaga. Sebuah pos/ruangan di sebelah kanan jalur berukuran sekitar 3x3m yang sepertinya sudah tidak digunakan lagi. Pos ini juga sebagai tempat berakhirnya jalan aspal/cor.

Jalan Berbatu Menuju Kokopan
Selanjutnya jalur berubah menjadi jalan berbatu yang memang dikondisikan demikian oleh perhutani setempat untuk akses jeep pengangkut belerang. Jalur berbatu ini terasa menyulitkan bagi kami. Meskipun lerengnya tidak terlalu terjal (sekitar 20° atau 45%), namun tetap saja jalan kami jadi melambat akibat jalur berbatu tersebut. Kami tiba di pos Kokopan tepat ketika azan maghrib berkumandang. Di Kokopan ini masih terdengar suara azan meski hanya terdengar sayup-sayup. Oh Ya, sebelum pos Kokopan kami juga menjumpai sebuah makam di sebelah kiri jalur, makam ini letaknya agak tersembunyi sehingga jarang dijumpai oleh pendaki. Selanjutnya kami membuat camp di shelter ini. Total dua tenda berukuran enam orang dan satu tenda berukuran dua orang berdiri. Malam itu kami melakukan evaluasi dan merencanakan planning untuk esok hari.

Selasa, 5 Juli 2011
Sunrise di Kokopan
Paginya saya bangun pukul 05.00 yang kemudian disusul dengan teman-teman lainnya. Dinginnya udara pagi membuat mereka malas keluar tenda. Padahal  pemandangan diluar cukup eksotis. Panorama sun rise ditemani dengan gagahnya sosok gunung penanggungan menjadi keindahan yang cukup mempesona.

Kokopan-Pondokan 4-5 jam
Pukul 10.00 kami melanjutkan perjalanan menuju shelter Pondokan. Seperti hari sebelumnya saya dan Cipta selaku mentor jalan di belakang caang. Track yang kami lalui masih berupa jalan berbatu. Disepanjang perjalanan menuju Pondokan ini kami menjumpai sebuah pipa bocor, akar-akaran tumbang, dan beberapa tempat datar di sisi jalur. Kondisi trek cukup terbuka dengan pinus sebagai vegetasi dominan. Tak jarang terlihat lutung dan beberapa jenis burung yang asik mondar-mandir disekitar jalur. Hingga pos Pondokan jalurnya masih berbatu, tapi lebarnya makin menyempit. 

Lelah juga rasanya treking di medan seperti ini. Jalur naik konstan dengan sedikit kelokan disana sini. Semilir angin yang menghantam pinus menciptakan suara-suara semriwing yang menyejukkan tetapi juga menakutkan. Beberapa kali saya terlibat obrolan ringan dengan Cipta, dari mulai soal kuliah sampai perilaku-perilaku caang yang kadang membuat muka merah padam (lebay amat bos.hehe). Membandingkan mereka dengan ketika kami masih caang setahun lalu, sekaligus menjadi bahan evaluasi terhadap diri sendiri. Namun yang paling sering ialah bernostalgia mengenang pendakian Argopuro setahun lalu yang tak mungkin kami lupakan. Jalur yang tidak terlalu terjal dengan tutupan hutan rapat yang diselingi savana luas sangatlah jauh jika dibandingkan dengan trek welirang yang saya lalui saat itu. Belum lagi keindahan padang savana Cikasur yang sangat luas dengan kokok merak dimalam dan pagi hari serta suasana mistis nan menakjubkan di Danau Taman Hidup yang selalu menggugah keinginan saya untuk selalu kembali kesana. Ya paling tidak kami tim yang saat itu ke Argopuro sepakat disana merupakan salah satu Heaven in Indonesia.
Sesaat kemudian kami menjauhi punggungan dan tibalah di lembahan tempat/base camp penambang belerang yang disebut Pondokan. Banyak terdapat bangunan beratapkan jerami dengan aroma belerang disana sini. Sekitar pukul tiga saat itu. Segera saja tiga tenda kembali berdiri. Segelas kopi dan sepiring indomi goreng adalah dua hal yang pertama tersaji usai berdirinya tenda.

Pos Pondokan
Lama-kelamaan dingin juga rasanya. Tapi keinginan bermalas-malas di dalam tenda dengan terbungkus sleeping bag bermerek a*tech sirna setelah saya teringat suatu hal yang amat penting. Guyuran air ke wajah, tangan, kening, dan kaki terasa sangat dingin dan menyegarkan. 2x2 di selembar ponco 2x1 saya laksanakan dengan penuh khidmat disertai rasa syukur yang tak ada habisnya atas keindahan ciptaan Allah yang maha kuasa. 

Planning kembali disusun dan persedian logistik kembali dilakukan pengecekan ulang, itulah yang lakukan malam itu. Pratinjau kesiapan pemetaan Welirang-Kembar1-Kembar2-Arjuno rasanya perlu dilakukan. Hasilnya, hanya tiga orang + satu mentor (Mbay, Adi, Gibran, dan saya) yang menyatakan bersedia melakukan itu. Lainnya memilih menuju Pasar Dieng via Lembah Kijang. Rencananya dua tim ini akan bertemu di Pasar Dieng dan camp disana besok malamnya. 
    
Rabu, 6 Juli 2011
Kurang lebih pukul tiga dini hari saya terbangun. Di luar sana sudah tampak kasak-kusuk teman-teman tengah melakukan persiapan. Pukul 05.30 tim kembar telah siap berangkat. Carir telah berdiri, jaket telah dikenakan, dan cahaya diufuk timur sudah mulai membagunkan aktifitas pagi di Pondok belerang. Lolong anjing hutan yang samar-samar dikejauhan dan pesan teman-teman tim kijang untuk hati-hati (tim kijang dan tim kembar; kami menyebutnya seperti itu) mengantarkan kami menelusuri lekuk-lekuk hutan pinus dipagi itu. Dengan tempo 30 menit jalan dan 5 menit istirahat kami berempat percaya diri akan menaklukan puncak Welirang dalam empat jam kedepan. 

“Wah treknya lebih terjal dari yang kemarin nih, tapi masih lebih empuk diinjak” kata Adi dengan nafas yang terengah-engah. Di depan sudah terlihat saddle/punggungan yang menghubungkan Welirang dengan Kembar1. Itu tandanya sudah dekat, kami makin bersemangat menuju kesana. Hingga akhirnya kami tiba di saddle tersebut dimana terdapat Edelweis yang nampaknya sedang tidak mekar. Tak terasa sudah dua setengah jam kami trekking. Lelah memang, tapi hamparan pemandangan indah khas ketinggian 2900an mdpl seakan menyihir dan menghilangkan rasa lelah kami. 

Ada dua jalur menuju Welirang dari sini. Yang satu menyusuri punggungan dan satu lagi sedikit memutar (melipir) yang biasa dilalui penambang. Kami memilih jalur yang pertama dengan catatan akan melalui jalur penambang ketika turun nanti. Hal ini kami lakukan agar semua jalur dapat terpetakan. Jalur sempit menanjak curam kami lalui disusul dengan batu-batu besar dengan sedikit vegetasi. 

Makan apel dulu mas...
“Guys, kita break dulu deh, engap gw” kata Gibran yang nampak sudah kepayahan. “Eh ni apel yang ada di gw kita makan aj ya, buat ganjel perut” kata Mbay sambil cengangas cengenges dengan gaya khasnya. “Iye tuh lumayan buat ngademin tenggorokan” saya melanjutkan.
Kami memang sempat membeli apel di pasar Singosari untuk suplai vitamin ketika kami berada di gunung. “Seger juga y makan apel di ketinggian 3000, nyes-nyes gimana gitu”, ujar gw yang sedang mengunyah apel yang berwarna hijau kemerahan itu. “Bener banget, lumayanlah buat ngebasahin bibir yang udah mulai pecah-pecah” sambung Mbay. “Eh san, kira-kira sengah jam lagi nyampe ga ya?” tanya Mbay ke gw. “Nyampe lah tu udah keliatan puncaknya. Yud yuk jalan lagi” jawab gw dengan nada sok tau. Sejenak kemudian kami bangun dan melanjutkan perjalanan. Jalur semakin menanjak tajam membuat kami semakin kepayahan. Carir yang menggantung dipundak kami rasanya sangat memberatkan. Ingin rasanya menurunkan carir dan segera lari “ngacir” menuju ke puncak (kaya bisa aja.hehe). Kami memang membawa carir karena harus membawa semua barang bawaan dan bertemu dengan tim kijang di Pasar Dieng nanti malam. Meninggalkan carir di lembah edelweis di bawah tadi pun rasanya tidak mungkin karena banyak penambang belerang yang berlalulalang. 

Ditengah rasa lelah yang begitu sangat, tiba-tiba Adi yang jalan paling depan berteriak “puncak,..puncak”. Seketika saya kembali semangat dan langsung mengejar mereka yang memang sudah jauh di depan. Tapi,.................$#&!*?. “Mbay, kalo ini puncak itu apaan?” tanya Adi sambil menunjuk sesuatu berwarna putih di depan yang menjulang tinggi. Kami semua saling tengok satu sama lain dengan penuh keheranan. Semangat itu kini berganti lemas dan cemas. Ditambah lagi panasnya terik matahari yang sudah mendekati pukul 11. Dengan langkah gontai kami kembali mengarungi pasir dan batu-batuan menuju puncak tertinggi Welirang. Kembali naik yang kemudian sedikit turun disusul dengan mengitari sebuah kawah yang sudah tidak aktif. Di bawahnya terdapat banyak batu-batuan yang sedemikian rupa dibentuk menjadi rangkaian huruf nama-nama dari para pendaki yang coba mengabadikan namanya.

Menuju puncak beneran. hosh..hosh
Tidak terlintas pikiran untuk turut membuat yang seperti itu. Yang ada dipikiran kami saat itu segera menaklukan puncak Welirang dan segera turun kembali lewat jalur penambang. Dari sini kembali terlihat dua puncak tinggi yang kembali membingungkan kami. Lelah, panas, berat, dan pikiran yang kurang tenang nampaknya membuat kami jadi tidak bisa memastikan mana puncak yang paling tinggi. Segera saja Mbay menurunkan carir dan menghampiri seseorang yang terlihat sedang mengangkuti belerang di sekitar kawah. “Puncak paling duwure sing endi pak?”. Tanpa menjawab, sang bapak hanya menunjuk ke arah puncak yang sebelah kanan. “Oowh,. Suwun ya pak”, lanjut Mbay kepada si bapak tadi. Kembali si bapak hanya mengangguk pelan tanpa menjawab. Terik panas yang menyengat di ketinggian 3100 saat itu memang membuat malas siapa saja yang berada disana untuk mengeluarkan kata-kata. Rasanya memang ingin segera menyudahi segala aktifitas dan merebahkan diri di tempat yang nyaman. Saya pikir penambang belerang tersebut merasakan hal yang sama seperti kami, tapi bedanya itu sudah menjadi pekerjaan mereka sehingga suka tidak suka harus mereka selesaikan. 

Bersambung ke part 2 ...

2 comments:

  1. Hmm... Mantap bang.. Boleh juga dijadikan rujukan buat artikel di blog saya. Salam Kenal dan Salam Lestari

    ReplyDelete